Firman Tuhan mengatakan, “Jadi sekarang hai kamu yang berkata hari ini atau besok kami akan berangkat ke kota anu dan di sana kami akan tinggal setahun, dan berdagang serta mendapat untung.” Ini adalah bahasa orang yang optimis. Pasti bisa berangkat ke kota anu, pasti bisa tinggal setahun, bisa berdagang dan mendapat untung. Tidak salah dengan optimisme, dan bukan berarti kita harus pesimis. Tetapi, mari kita lihat kebenaran firman Tuhan, “Sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.”
Seiring perjalanan waktu kita bergaul dengan Tuhan, sejatinya kita makin mengerti kebenaran dan makin cerdas. Kita bisa melihat banyak orang yang semakin kaya semakin memiliki nilai kepastian di dalam dirinya. Dunia pun seperti merestui. Kalau uang banyak, punya banyak relasi penting sehingga ada suara dalam dirinya: “Semua bisa diatur.” Ini membangun optimis yang bisa melupakan Tuhan. Kita harus optimis untuk apa yang harus kita optimis, tetapi kita tidak perlu optimis untuk apa yang tidak perlu kita optimis.
Dan seoptimis-optimisnya kita hidup, kita selalu harus melandaskan dengan satu pernyataan “jika Tuhan menghendaki.” Tetapi jika orang sudah menjadi kuat—secara materi, kekuasaan, relasi, keamanan, hukum dan lainnya—maka kalimat “Jika Tuhan menghendaki” menjadi tipis, bahkan sangat tipis. Yang membahayakan adalah ketika ia tidak memedulikan kekekalan. Dalam pengalaman hidup, kita tentu pernah bertemu orang yang lemah, yang tidak punya kekuatan. Bahkan kita juga terkadang mengalami kesulitan yang tidak tahu bagaimana jalan keluarnya. Tetapi itu sehat bagi jiwa kita. Sebab Tuhan mengizinkan semua itu terjadi, agar kita tidak mengabaikan prinsip “Jika Tuhan menghendaki.” Sebab ini masalah kekekalan.
Ketika orang merasa kuat secara ekonomi dan relasi, ia buta atas apa yang dikendaki Tuhan dalam hidupnya dan makin terpicu untuk berbuat ini dan itu. Padahal itulah jebakan kuasa gelap. Ironis, banyak orang tidak menyadarinya. Mungkin kita sedang terjebak di sana. Ketika kita punya relasi orang kuat, diam-diam kita menjadi sombong; kalau ribut dengan seseorang, kita tidak takut karena kita merasa pasti bisa menang. Kita kurang mengandalkan Tuhan, kita jadi mengandalkan manusia. Ini sangat mendukakan Tuhan.
Terkadang kita mau mengatakan kepada orang yang bermasalah, “Tenang, saya bisa bela kamu. Seberapa kuat lawanmu, saya kerahkan kekuatan saya. Aku punya kekuatan.” Padahal dengan berbuat begitu, kita bisa merusak pembentukan atau rencana Tuhan atas orang itu dan membuat kita menjadi semakin sombong. Jangan coba-coba menggunakan kekuasaan dan kekuatan di luar kehendak Allah. Tidak salah punya relasi pejabat yang bisa mendukung kita, tetapi jangan mengandalkan kekuatannya demi kepastian hidup.
Kalau Tuhan mengizinkan kita mengalami keadaan apa pun, bahkan keadaan yang tidak menentu, kita tetap harus berkata, “Jika Tuhan menghendaki” kami akan hidup berbuat ini dan itu. Artinya kita akan menerima apa pun yang akan terjadi. Apa pun keadaan hidup kita, jika itu seizin Allah, pasti itu yang terbaik. Tidak mudah mengubah pola pikir yang sudah tercemar dunia yang jahat. Apalagi kalau melihat surga itu seperti misteri, seperti alam yang berbeda dengan alam kita. Seiring dengan kepastian bahwa Allah adalah satu-satunya kepastian, maka Kerajaan-Nya juga sebuah kepastian.
Sebaik apa pun yang dimiliki manusia di bumi—tubuh sehat, rumah tangga bahagia dan utuh, ekonomi baik, keadaan nyaman dan aman—itu bukanlah kepastian. Bahkan bisa membahayakan. Kalau kita berprinsip seperti ini, maka pasti ada orang yang menilai kita tidak waras; karena umumnya orang mau mencari kepastian hidup. Tetapi itulah sejatinya kebenaran yang Injil ajarkan, antara lain: dunia bukan rumah kita; serigala punya liang, Anak Manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya; asal ada makanan dan pakaian, cukup.
Ironis, banyak gereja—bahkan hampir semua gereja hari ini—mengajarkan bagaimana Tuhan dijadikan kontributor atau penolong untuk bisa meraih kepastian di bumi, untuk menopang kehidupan di bumi. Sejatinya, kalau kita membutuhkan Tuhan itu karena kita harus kembali ke rancangan semula. Proses dikembalikannya manusia ke rancangan Allah semula, bertalian dengan dunia baru yang Allah sediakan di mana ada kepastian. Artinya kita bukan sibuk bagaimana bisa menikmati kebahagiaan dalam hidup ini dan minta Tuhan untuk memberikan kepastian dalam ekonomi, kesehatan dan lain-lainnya yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita.
Maka, kita berurusan dengan Tuhan bukan untuk mendapatkan kepastian dari masalah hidup di bumi, melainkan karena kita mau menemukan rencana-Nya dalam hidup kita. Jadi, hidup dalam kepastian hanya diisi dengan dua hal, yaitu: Pertama, hidup dalam kesucian. Kedua, melakukan kehendak-Nya. Di luar ini tidak ada kepastian. Jangan karena kekayaan dan kenyamanan, kita tidak memiliki kedua hal itu. Guncangan apa pun yang terjadi, asalkan kita hidup dalam kesucian dan melakukan kehendak-Nya, maka kita hidup dalam kepastian.
Guncangan apa pun yang terjadi, asalkan kita hidup dalam kesucian dan melakukan kehendak-Nya, maka kita hidup dalam kepastian.