Skip to content

Hidup Dalam Iman

Salah satu ciri dari seorang yang merdeka dalam Tuhan Yesus adalah tidak lagi memiliki keinginan-keinginan dari diri sendiri. Biasanya, kalau kita mendengar khotbah yang mengatakan bahwa keinginan dari diri sendiri harus ditanggalkan, banyak orang memprotes baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. “Bagaimana bisa manusia tidak memiliki keinginan? Mana mungkin?” Biasanya orang berargumentasi bahwa sewajarnya manusia mempunyai keinginan dan cita-cita. Pandangan ini sebenarnya bentuk ketidaksediaan menanggalkan keinginan karena merasa berhak memiliki keinginan dari diri sendiri.

Mereka yang tidak bersedia menanggalkan keinginan dari dirinya sendiri tersebut, tidak memahami atau tidak menerima bahwa dengan menjadi anak tebusan Tuhan Yesus, berarti telah dibeli dengan harga lunas dibayar. Kata “lunas” menunjukkan keadaan final bahwa kita bukan milik kita sendiri, tetapi sudah menjadi milik Tuhan sepenuhnya. Kalau sepenuhnya kita menjadi milik Tuhan, berarti segala sesuatu yang ada pada kita—termasuk segala keinginan dan cita-cita—harus ditundukkan pada Tuhan yang memiliki segenap hidup kita. Selama seseorang masih memiliki keinginan dari diri sendiri, ia tidak dapat dimiliki oleh Tuhan, sebab ia masih memiliki dirinya sendiri. 

Tidak memiliki keinginan dari diri sendiri, bukan berarti seseorang hidup tanpa keinginan, tetapi keinginan kita harus ditundukkan atau disesuaikan dengan kehendak Tuhan. Bukan Tuhan yang menyesuaikan diri terhadap kita, tetapi kita yang menyesuaikan diri terhadap Tuhan. Idealnya, jiwa kita harus dikosongkan agar hanya menjadi tempat pikiran dan perasaan Tuhan, serta memuat segala kehendak dan rencana-Nya. Untuk mengosongkan bejana jiwa atau hati ini, sangatlah berat. Tetapi, pergumulan menyangkal diri dapat membawa kita sampai pada tahap tersebut. Jika tahap tersebut tercapai, barulah kita bisa menyatakan bahwa hidup kita bukan kita lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam kita (Gal. 2:19-20). 

Seiring dengan perjalanan waktu dan pertumbuhan kedewasaan rohani, kita akan mengerti dan menerima bahwa semua keinginan harus disesuaikan dengan kehendak Tuhan. Itulah keinginan diri sendiri yang disalibkan atau ditanggalkan. Hal ini adalah sesuatu yang mutlak harus dilakukan setiap orang yang telah ditebus oleh darah-Nya. Tanpa kesediaan untuk tidak memiliki keinginan dari diri sendiri, seseorang tidak dapat hidup dalam iman. Dalam hal ini, kita dapat mengerti bahwa hidup dalam iman bukan sesuatu yang mudah. Hidup dalam iman merenggut seluruh hak hidup kita.

Iman tidak dapat terwujud, bertumbuh, dan menjadi sempurna seperti Tuhan Yesus tanpa kesediaan melepaskan beban dan dosa dan meneladani seluruh gaya hidup Yesus (Ibr. 12:1-2). “Melepaskan beban dan dosa” artinya melepaskan semua keterikatan dengan kesenangan dunia, dan keinginan yang bertentangan dengan kesucian Allah. Kata “memandang Yesus” artinya meneladani hidup-Nya. Orang yang bersedia tidak memiliki dirinya sendiri berarti ia hanya memiliki kehidupan Yesus yang diperagakan di dalam seluruh hidupnya. Selama orang masih hidup dengan segala kesenangan dan keinginannya sendiri, ia tidak akan dapat memperagakan kehidupan Yesus di dalam hidupnya. Itu berarti ia menolak menjadi anak tebusan. Itu berarti pula ia menolak untuk diselamatkan, artinya dikembalikan ke rancangan semula-Nya.

Sudah terlalu lama kita terbiasa hidup dalam berbagai hasrat dan keinginan kita sendiri, dan hal ini kita anggap sebagai suatu kewajaran. Tetapi kalau kita mengerti dan menerima bahwa kehidupan ini diciptakan oleh suatu Pribadi yang memiliki kehendak atau keinginan, Pribadi yang memiliki pikiran dan perasaan, kita harus mempertimbangkan: Apakah kita boleh memiliki keinginan kita sendiri, tanpa mempertimbangkan apakah keinginan tersebut sesuai dengan kehendak, pikiran, dan perasaan Tuhan? Harus dipahami bahwa sikap hidup dan segala gerak kehendak, pikiran, dan perasaan orang percaya—sebagai anak-anak Tuhan—sangat memengaruhi hati atau perasaan-Nya. Oleh sebab itu, tidak cara lain untuk bisa menyukakan hati Tuhan selain mematikan keinginan diri sendiri dan hidup hanya melakukan kehendak Bapa. 

Sebelum kita bertobat dan mengikut Tuhan Yesus, kita merasa memiliki diri kita sendiri. Kita seperti Petrus yang masih muda yang “mengikat pinggang sendiri dan berjalan ke mana saja yang kita kehendaki,” tetapi setelah kita tua atau makin dewasa rohani, kita harus mengulurkan tangan, dan orang lain akan mengikat kita dan membawa kita ke tempat yang tidak kita kehendaki (Yoh. 21:18). Inilah yang dimaksud dengan kehendak yang disalibkan. Fenomena ini sejajar dengan doa Tuhan Yesus yang berbunyi: “Bukan kehendak-Ku yang jadi, tetapi kehendak-Mu” (Luk. 22:42). Hal ini merupakan pelaksanaan dari Doa Bapa Kami yang berbunyi: “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” (Mat. 6:10). 

Tanpa kesediaan untuk tidak memiliki keinginan dari diri sendiri, seseorang tidak dapat hidup dalam iman.