Hidup adalah pilihan. Kalimat ini pasti sudah tidak asing lagi bagi kita; kita sudah sering mendengarnya atau kita sendiri juga mengucapkannya. Tapi yang menjadi masalah adalah apa isi pilihan tersebut. Itulah yang kita harus bedah dengan jelas. Tentu saja pilihan yang biasa dimengerti oleh orang adalah bidang studi, pekerjaan atau profesi, jodoh, tempat domisili, dan banyak lagi. Sedangkan bagi kita, pilihannya hanya dua, yaitu: Tuhan atau dunia. Menjadi Kristen bukan berarti sudah memilih Tuhan. Apalagi kalau seseorang sudah menjadi Kristen sejak kecil, sejatinya dia tidak pernah memilih; otomatis Kristen. Ironis, banyak orang yang hidup masih di level ini. Mereka belum menemukan hidup dalam iman yang benar dan banyak orang berlabuh atau berparkir di level kekristenan semacam itu, dan itu palsu. Itu semu.
Hidup penuh dengan pilihan seperti; bila salah memilih akan berakibat fatal. Pilihan-pilihan dalam perkara sederhana atau kecil pun bisa berdampak besar. Sering kita sebagai manusia gagal untuk memilih mana yang terbaik dalam kehidupan ini, sementara waktu tidak pernah bisa diputar kembali. Jika kita memilih untuk lunak kepada diri kita, maka kehidupan akan keras kepada kita; tapi jika kita memilih keras pada diri kita, kehidupan akan lunak pada kita. Dan bukan keadaan yang menentukan keberhasilan atau kegagalan hidup kita, melainkan pilihan atau keputusan hidup kita.
Jika kita pelajari dalam Alkitab, ada beberapa tokoh yang pernah salah mengambil keputusan/menentukan pilihan dan berakibat fatal, antara lain: Adam dan Hawa. Pilihan mereka pada akhirnya menjerumuskan Adam dan Hawa ke dalam dosa. Allah benar-benar murka dan kecewa karena ciptaan-Nya tidak mengikuti perintah-Nya. Murka dan kecewa Allah berakibat pada diusirnya manusia dari Eden. Kelanjutan dari cerita Adam dan Hawa tidak berakhir sampai di situ saja, tapi terus berlanjut hingga hari ini dimana seluruh keturunannya harus bekerja keras untuk mendapatkan nafkah hidup dan merasakan sakit bersalin.
Demikian juga dengan Abraham. Ia dikenal sebagai “bapa orang percaya.” Namun ia dan Sara, istrinya, tidak sabar menunggu janji Tuhan bahwa mereka akan mendapatkan seorang anak. Hingga akhirnya, Abram menyetujui usul Sara untuk mengambil Hagar sebagai istri keduanya. Anak dari Hagar, Ismael, masih meninggalkan masalah hingga sekarang. Alkitab juga menceritakan tentang Esau. Ia adalah cucu Abraham dari Ishak yang menjual hak kesulungannya kepada Yakub. Bukan karena Esau sangat baik hati sehingga memberi dengan begitu saja hak kesulungannya, tapi karena pada saat itu ia sangat merasa lelah hingga hampir mati. Esau tidak berpikir panjang ketika ia menjual hak kesulungannya dengan sedikit roti dan sup kacang merah. Ia lebih tergiur melihat sup kacang merah hasil olahan Yakub daripada hak kesulungannya. Pada akhirnya, Esau harus menyesali kebodohannya seumur hidup.
Sepanjang kehidupan ini, akan ada begitu banyak pilihan hidup. Setiap pilihan yang kita ambil pasti memiliki kesulitan, rintangan, tantangan yang harus kita hadapi dan akan kita hadapi. Setiap kita berhasil melewatinya, bukan berarti bahwa segala sesuatunya telah selesai, namun akan ada kesulitan baru, rintangan dan tantangan yang baru, dan akan seperti itulah seterusnya. Namun, jika kita bisa memecahkan setiap persoalan tersebut dan memilih dengan tepat setiap pilihan yang terbentang di hadapan kita, kita akan menjadi lebih besar dan kuat dari sebelumnya. Pilihan kita hari ini menentukan masa depan kita, bukan saja di bumi, tapi sampai di kekekalan. Ini berlaku dalam seluruh aspek kehidupan kita, baik kehidupan jasmani maupun rohani. Adalah sebuah kenyataan yang tak terbantahkan bahwa kita memiliki Allah yang hidup, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang kasih-Nya tak berkesudahan, yang kuasa-Nya tidak terbatas. Tetapi kita tidak bisa menyangkali juga bahwa Ia adalah Allah yang Mahaadil. Ia berlaku adil kepada semua orang. Keadilan-Nya dinyatakan dengan cara membalaskan kepada semua orang menurut apa yang dilakukan orang itu. “Ia memberikan upah kepada setiap orang menurut perbuatannya” (Why. 22:12). Juga ada ayat yang mengatakan, “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Gal. 6:7).
Setiap kita memiliki pilihan dalam merespons panggilan Tuhan dalam hidup kita. Yang pertama, kita bersikap seperti Yunus (Yun. 1:1-3). Tuhan memanggil Yunus untuk melakukan sebuah misi untuk menyelamatkan kota Niniwe, tetapi Yunus malah melarikan diri ke Tarsis. Dengan kata lain, Tuhan telah memberikan panggilan kepada Yunus, tetapi Yunus mengatakan, “Aku tidak mau!” Yang kedua, seperti Musa. Pada kitab Keluaran, Tuhan menjumpai Musa dan memanggilnya untuk membawa bangsa Israel keluar dari Mesir (Kel. 4:11-13). Tuhan memanggil Musa, tetapi Musa malah mengatakan kepada Tuhan untuk mengirimkan orang lain. Ketiga, seperti Yesaya (Yes. 6:8). Nabi Yesaya diberikan sebuah tugas oleh Tuhan, dan hal pertama yang keluar dari mulutnya adalah “Ini aku, utuslah aku!” Nabi Yesaya tidak menanyakan tentang detil tugasnya, yang dia tahu hanyalah satu: Tuhan telah memanggilnya, dan dia mau melakukan apa pun panggilan itu.
Bagaimana dengan kita? Beranikah kita seperti Yesaya? Atau kita cenderung seperti Yunus yang menghindar dari panggilan Tuhan karena tidak sepikiran dan seperasaan dengan-Nya? Atau kita seperti Musa yang selalu beralasan—entah itu karena kelemahan atau kesibukan—dan kita menunjuk orang lain untuk menggantikan tempat kita? Sejatinya, Tuhan bisa tidak membutuhkan kita. Namun jika Tuhan memanggil kita, ini adalah suatu kehormatan, bukan beban. Jangan sia-siakan kesempatan yang ada. Pilihlah Tuhan dan Kerajaan-Nya, maka kita pasti tidak akan menyesal. Walau mungkin teman dan keluarga kita menjauhi kita karena pilihan kita ini, atau mereka memusuhi dan menghina kita, tetaplah bertahan! Ingat, kesempatan kita terbatas.
Jangan sia-siakan kesempatan yang ada; pilihlah Tuhan dan Kerajaan-Nya.