Ada satu ajaran yang telah berakar di dalam pikiran banyak orang percaya, yaitu karena Yesus menang, Ia pun memberikan kemenangan itu kepada kita. Di satu sisi, kalimat itu benar. Yesus telah menang, Yesus memberikan kemenangan itu bagi kita. Sebab dengan kematian Yesus di kayu salib, Dia memikul semua dosa-dosa kita dan telah selesai. Semua perbuatan dosa yang telah kita lakukan dan yang sedang kita lakukan dan yang mungkin bisa kita lakukan lagi, Tuhan telah pikul di kayu salib. Bahkan sebelum kita lahir, kata Alkitab, Dia sudah mati untuk kita, puji Tuhan! Dia menang; Dia taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib, dan kemenangan-Nya untuk kita. Namun, itu baru satu aspek! Sebab, kemenangan Tuhan Yesus di kayu salib memang membawa kita dibenarkan di hadapan Allah (justification; justificatio). Kita dianggap benar di hadapan Allah, tetapi bukan berarti kita sungguh-sungguh sudah benar.
Secara de jure, kita bisa dianggap benar. Tetapi secara de facto, belum. Karenanya, setiap orang yang ikut Tuhan Yesus harus dimuridkan, harus diperbaharui, harus didewasakan, harus mengalami metamorfosis (Rm. 12:1-2). Jadi, pertobatan awal kita disertai dengan adanya pembaharuan terus-menerus. Sebab, pertobatan itu artinya pembaharuan pikiran (metanoia). Kalau kemenangan Tuhan Yesus itu berarti membuat kita otomatis menang dalam arti mutlak (all in), maka kita sudah berkenan di hadapan Allah. Tuhan Yesus tidak perlu berkata, “Jadikan semua bangsa murid-Ku, belajarlah dari pada-Ku, masuklah jalan sempit, dan kepada tujuh jemaat di kitab Wahyu, di setiap jemaat Tuhan selalu berkata, “Menanglah kamu seperti Aku menang.” Kemenangan Tuhan Yesus membuka jalan dimana dosa kita telah selesai di kayu salib. Kalau hari ini kita meninggal dunia, kita yang sungguh-sungguh sudah percaya Tuhan Yesus, bisa masuk surga. Tidak diragukan dan tidak boleh ragu-ragu. Tetapi masalahnya, apakah kita sudah serupa dengan Yesus atau sempurna seperti Bapa? Inilah yang harus kita gumuli.
Bertahun-tahun kita tidak merasa gelisah dengan keadaan kita, karena kita yakin mati masuk surga. Dan itu secara literal, secara dogmatis, secara sistematika teologi, telah tersusun sedemikian rupa dan membangun pengertian bahwa keselamatan sudah dimiliki, dan pasti orang yang percaya kepada Yesus, masuk surga. Namun, harus kita ingat, hal itu berlaku bagi orang percaya yang benar-benar sudah bertobat. Dan pertobatan itu bukanlah satu titik, melainkan sebuah garis panjang. Benar, keselamatan bukan usaha kita, karena Yesus telah mengusahakannya di kayu salib. Tetapi, ada bagian yang tidak boleh kita lupakan. Pesta disediakan, undangan diberikan, tetapi mengenakan pakaian pesta merupakan tanggung jawab kita. Matius 7:21-23 juga mengingatkan bahwa orang-orang yang telah mengusir setan dan menyembuhkan penyakit, mengadakan banyak mukjizat, namun karena mereka tidak melakukan kehendak Bapa, pada akhirnya mereka pun diusir. Pertanyaannya, masuk surga karena kehendak Bapa atau karena kurban Yesus di kayu salib? Nah, orang harus mengerti dengan tepat! Ini yang menyesatkan banyak orang Kristen dan membuat Eropa tenggelam, karena doktrin yang tidak akurat, doktrin yang tidak tepat, semua diselesaikan secara literal dalam sistematika teologi.
Kualitas hidup kita harus sempurna seperti Bapa, serupa dengan Yesus. Untuk itu, kita memiliki tanggung jawab. Kita harus terus bertumbuh, bukan hanya menjadi anak kesayangan Allah, melainkan juga menjadi anak kesukaan Allah. Menjadi anak kesukaan berarti setiap kata yang kita ucapkan itu berkenan. Setiap perbuatan kita, menyenangkan hati Allah. Nah, kita periksa diri, apakah kita sudah mencapai hal itu? Dan jujurnya, kita sering kali meleset. Makanya, kita minta ampun. Kita mengasihani perasaan Allah yang belum menjumpai kita seperti yang Ia kehendaki. Dan mestinya, tujuan hidup kita satu-satunya hanya itu: menjadi manusia sesuai dengan rancangan Allah semula. Jadi, setiap hari kita memeriksa diri, kita harus sadar bahwa keadaan kita belum seperti yang Allah kehendaki. Makanya, kita harus jujur. Ada saja kata yang salah, lalu kita minta ampun. Ini bukan mengasihani diri, melainkan kita mau mengasihani perasaan Allah karena kita hidup hanya untuk melayani Tuhan.
Orang yang mengasihi Tuhan akan memiliki hati yang pecah di hadapan Allah. Sebab, kita menghadapi Allah yang hidup, Allah yang nyata, bukan Allah yang kita ciptakan di dalam pikiran atau dalam perasaan, melainkan Allah yang kita jumpai. Mengenal Allah itu harus berjumpa dengan Dia. Perjumpaan inilah yang harganya mahal dan tidak ternilai. Yang tidak bisa diajarkan dengan kata, kalimat, tidak bisa ditulis dalam buku, tetapi harus kita alami. Sebab Allah bukan sekadar objek untuk diselidiki, dibicarakan, dipercakapkan, melainkan harus dialami secara langsung. Dan di pengadilan Tuhan nanti, semua akan terbuka. Jadikan ini agenda kita satu-satunya dalam hidup. Baik kita makan atau minum, atau melakukan sesuatu yang lain, kita lakukan semua untuk kemuliaan Allah. Kita bersukacita menjadi anak Allah. Kita yakin, hidup dalam perlindungan dan penjagaan Tuhan.
Orang yang mengasihi Tuhan akan memiliki hati yang pecah di hadapan Allah.