Lebih dari apa pun yang dapat kita berikan kepada Allah, Bapa kita, sejatinya hanya hati kita yang diingini oleh Allah, bukan suatu barang. Kalau kita memberikan sesuatu dalam bentuk barang, itupun karena sikap dan dorongan hati yang benar. Hati yang mengasihi Allah adalah satu-satunya persembahan yang dapat dinikmati oleh Allah. Kita bisa menyanyi, menari, atau melakukan segala sesuatu yang kelihatannya saleh, baik, rohani. Tetapi kalau hati kita tidak berkenan di hadapan Allah, hati kita tidak berwarna seperti yang Allah kehendaki, maka Allah tidak disukakan. Itu berarti percuma semua yang kita lakukan. Dalam pertemuan bersama, kita mengikuti liturgi, kita menyanyi, kita menyembah dengan kata-kata. Namun semua percuma kalau ternyata sikap hati kita tidak menyenangkan hati Allah, Bapa kita. Mari kita berjuang, berusaha untuk memiliki hati yang dapat dinikmati oleh Allah, Bapa kita. Kesempatan ini hanya berlangsung selama kita hidup. Kesempatan yang benar-benar sangat terbatas. Kalau kita tidak segera memberi diri digarap oleh Allah, hati kita tidak pernah menjadi hati yang bisa menyukakan hati Allah, dan itu berarti kengerian.
Di dalam Injil Matius 22:37-40 firman Tuhan mengatakan, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu, ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Inti hukum Taurat adalah kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia. Ini hukum yang ketika manusia masih ada di dalam kodrat dosa, harus dituntun Taurat menjadi tutor atau pembimbing yang diharapkan kemudian hukum itu dapat menjadi kodrat di dalam dirinya, menjadi being di dalam dirinya. Jadi, hukum bukan tidak dibutuhkan. Selama kita di dunia, dibutuhkan. Yesus juga berkata bahwa Taurat tidak akan lenyap. Memang kita tidak menjalankan Taurat seperti yang dijalankan oleh bangsa Israel dengan segala pernik-perniknya, yang jumlahnya ratusan. Tetapi kita menemukan intinya, dan bagaimana menerjemahkan inti tersebut di dalam hidup, menyuarakannya di dalam perilaku, yaitu mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Kebenaran ini menunjukkan bahwa tidak ada orang yang tidak mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan sesama seperti diri sendiri yang masuk surga. Dalam konteks ini, menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah, sebab ini untuk umat Perjanjian Baru.
Jadi, semua yang menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah, yang masuk Yerusalem Baru dan menjadi anak-anak Allah, harus mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan sesama seperti diri sendiri. Tidak ada orang yang menyebut diri anak Allah atau diakui sebagai anak Allah oleh Bapa di surga, dalam keadaan tidak berkenan. Tetapi kebenaran ini dirusak oleh konsep yang salah mengenai “keselamatan bukan karena perbuatan baik.” Keselamatan bukan karena perbuatan baik, itu kalimat yang benar, tidak salah. Tetapi kalau memahaminya salah, dikonsepkan salah, jadi menyesatkan. Jangan kita terjebak oleh kebodohan, hanyut dalam kehidupan wajar seperti manusia lain sehingga kita tidak mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi. Kita adalah umat pilihan yang harus berstandar “berkenan kepada Allah.”
Sejatinya, betapa mengerikannya hidup kita ini, tidak disadari oleh banyak orang. Ketika suatu saat orang menghadap takhta pengadilan Tuhan, ternyata ia tidak memperlakukan Allah secara patut—artinya tidak mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi—betapa mengerikan. Ini khusus bagi anak-anak Allah, bagi kita. Jadi ketika Allah memberikan hukum Taurat kepada bangsa Israel, bangsa Israel hidupnya dibuat tertib. Karena manusia yang jatuh dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah, belum kehilangan kemuliaan manusia. Tuhan Yesus datang menggenapi hukum Taurat. “Aku datang bukan meniadakan, tetapi untuk menggenapinya,” (Mat. 5:17). Tuhan memberi isi yang lebih mendalam, isi yang sesungguhnya, yang mestinya itu dikenakan Adam dan Hawa kalau tidak jatuh dalam dosa. Hukum Taurat jadi pembimbing sementara, sampai Yesus datang menggenapi. Dan hukum kasih itu bukan hanya untuk dilakukan, melainkan juga harus membuat kita berkeadaan demikian.
Maka, kalau kita belajar hukum kasih, kita harus memperhatikan perasaan Bapa; apakah Bapa disenangkan kalau saya lakukan ini? Lalu kita menengok sesama kita, “apakah dia terberkati dengan sikapku ini?” Maka, betapa mengerikannya hidup ini, sebab tidak ada satu katapun yang kita ucapkan yang tidak dipertanggungjawabkan. Apalagi menjadi kalimat, menjadi narasi, cerita, dan menjadi tindakan. Mari kita menyadari hal ini, karena kita tidak bisa menghindar dari takhta pengadilan Kristus.
Hati yang mengasihi Allah adalah satu-satunya persembahan yang dapat dinikmati oleh Allah.