Kalimat “sampai menutup mata” memberi pesan dan mengingatkan kita bahwa suatu saat nanti kita pasti menutup mata. Kedengarannya hal ini sederhana dan tidak penting, tetapi pemazmur mengajari kita. Di dalam tulisannya, pemazmur mengatakan, “Ajar aku menghitung hari-hari, supaya aku beroleh hati yang bijaksana, karena hari-hariku berlalu cepat.” Orang yang menyadari pasti ada akhir dari perjalanan hidupnya, akan memiliki hati yang bijaksana. Sebab, ia pasti tidak hidup ceroboh. Kedengarannya hal ini biasa atau bahkan mungkin dianggap tidak penting. Tetapi sejatinya, orang yang tidak memikirkan realita bahwa ia ada dalam perjalanan waktu dan pasti ada ujung dari perjalanan itu, orang yang tidak mengerti tidak mau mengerti dan tidak menghayati hal ini, ia tidak memiliki hati yang bijaksana; berarti ceroboh.
Ironis, di tengah-tengah dunia yang makin gelap, makin fasik, manusia semakin tidak memercayai keberadaan Allah. Walaupun mulutnya mengaku percaya ada Tuhan, tetapi sesungguhnya dia belum percaya dengan benar. Ia tidak mengakui di dalam perbuatannya bahwa Allah itu eksis, bahwa Allah itu ada. Dan orang yang tidak memiliki percaya yang benar ini, pasti tidak memikirkan kekekalan. Dan kalau orang tidak memikirkan kekekalan, pasti tidak serius merenungkan realita adanya perjalanan waktu, di dalam hal ini ada ujungnya. Itulah sebabnya filosofi hidup manusia di sekitar kita pada umumnya adalah, “mari kita makan dan minum sebab besok kita mati.” Tetapi kalimat: “besok kita mati,” tidak dipikirkan. Mereka hanya fokus pada: “Mari kita makan minum.”
Maka, mari kita menggoreskan, menorehkan di dalam hati kita bahwa kita ada dalam perjalanan waktu yang pasti ada ujungnya, dan pasti kita akan menutup mata. Jika kita tidak sungguh-sungguh merenungkan realita adanya perjalanan waktu dan ada ujungnya di mana suatu saat kita menutup mata—sekalipun sebagai rohaniwan atau sebagai pendeta—maka pasti hidup kita mulai tidak hati-hati atau mulai ceroboh. Hampir semua kita sudah tahu akan realita ini, tetapi seberapa dalam kita merenungkan, menghayati hal ini dan menerima realita ini? Dan setelah kita menghadapi “menutup mata,” kita menyongsong kekekalan. Jangan anggap remeh hal ini.
Kalau kita bicara mengenai kematian dan langit baru dan bumi baru, kita dianggap lucu, aneh, dan bisa menjadi bahan olok-olokan. Tapi tidak menjadi masalah. Kita tetap pada track ini; kita menghayati realitas kefanaan hidup di bumi dan realitas kekekalan nanti di balik kubur kita. Karena keselamatan dalam Yesus Kristus itu diproyeksikan untuk kehidupan yang akan datang, bukan kehidupan hari ini. Tetapi setan begitu licik memutarbalikkan kebenaran. Bicara “keselamatan” hanya dipahami terhindar dari neraka dan diperkenankan masuk surga. Lalu orang Kristen ‘disuntikkan’ ajaran yang sebenarnya tidak sesuai dengan Alkitab. Orang Kristen digiring untuk meyakini saja bahwa dirinya sudah selamat dan nanti kalau mati, masuk surga.
Sejatinya, menjadi orang Kristen itu makin hari, makin mengagumi keselamatan. Jadi bukan statis, dari dulu percaya Yesus Tuhan dan Juruselamat, yakin kalau mati masuk surga. Lalu menjalani hidup seperti hidup yang dijalani oleh orang yang bukan umat pilihan, yang tidak memiliki keselamatan. Setan begitu licik menipu banyak orang Kristen. Jadi kalau mereka bicara tentang keselamatan, hal itu hanya diyakini bahwa nanti kalau mati masuk surga, lalu menjalani hidup seperti orang-orang yang bukan umat pilihan menjalani hidup. Biasanya, orang-orang seperti ini takut mati. Dia boleh berkata yakin masuk surga, tapi tidak ingin mati karena takut mati. Ini ada yang salah.
Mestinya orang Kristen yang benar, semakin hari semakin mengagumi keselamatan. Dan memandang keselamatan begitu berharga, begitu bernilai. Karena di dalam keselamatan itu ada pengalaman, perubahan hidup. Bagaimana Roh Kudus menuntun hidup kita. Karena dia mengalami dinamika hidup. Dinamika hidup seorang yang dipimpin Roh Kudus. Dan kita bisa menghayati perubahan dari manusia berdosa dengan karakter dosa, menjadi seorang yang berkarakter ilahi, berkodrat ilahi dengan keagungan karakter yang Allah ajarkan kepada kita di dalam dan melalui Roh Kudus. Kekristenan yang benar, seperti ini.
Bukan hanya sekadar menjadi baik sebagai orang beragama, tetapi mengalami sentuhan Roh Kudus yang membawa dirinya kepada perubahan. Perubahan bukan hanya menjadi manusia yang santun dan beradab di mata manusia, tapi menjadi manusia unggul di hadapan Allah. Dan itu harta kita. Jadi kalau Tuhan berkata, “kumpulkan harta di surga,” berarti ada proses akumulasi, proses penumpukan. Apa itu? Perubahan karakter kita. Kalau bangsa Israel mengalami proses, yaitu perjalanan dari Mesir ke Kanaan dan mereka menempuh jarak, 1 Korintus 10 menunjukkan bahwa perjalanan bangsa Israel dari Mesir ke Kanaan menjadi gambaran perjalanan hidup orang Kristen. Dan perubahan itu sesuatu yang indah, yang mestinya dirasakan, dialami. Dan dari pengalaman itu, timbul kekaguman kita, betapa ajaib Tuhan. Keselamatan dalam Yesus Kristus bukan hanya menyelamatkan jiwa dari api kekal, tetapi menyelamatkan karakter kita.
Orang yang menyadari pasti ada akhir dari perjalanan hidupnya, akan memiliki hati yang bijaksana.