Skip to content

Hati yang Beku

Roma 8:28, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”

Jelas dikatakan, bagi mereka yang mengasihi Dia, jadi bukan untuk semua orang. Ini berarti betapa bernilainya di hadapan Allah, orang yang mengasihi Dia. Jadi, orang yang pasti beruntung, pasti diberkati Tuhan, pasti dilindungi Tuhan, dan pasti diangkat Tuhan dalam kemuliaan adalah orang yang mengasihi Dia. Hal mengasihi Tuhan adalah hal yang ada di dalam otoritas atau kedaulatan masing-masing individu. Karena, Tuhan tidak menjadikan manusia sebagai makhluk yang diatur oleh sesuatu atau entitas dari luar. Manusia mengatur dirinya sendiri; kehendak bebas. Kalau seseorang di dalam keputusan, tindakan, nasib, dan takdirnya ditentukan oleh sesuatu di luar dirinya, maka ia tidak perlu bertanggung jawab.

Namun, di Alkitab ditulis berulang-ulang bahwa manusia harus mempertanggungjawabkan hidupnya di hadapan Tuhan. Ini berarti, manusia memiliki kehendak bebas. Dalam 2 Korintus 5:9-10, firman Tuhan mengatakan, “Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya. Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.”

Itu berarti manusia tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain, tetapi setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat. Jadi, tidak ada faktor di luar diri individu; tidak ada faktor eksternal yang menentukan nasib setiap orang. Orang itu yang menentukan nasibnya sendiri. Bicara mengenai hati, itu wilayah individu. Di mana Tuhan akan pasti menegakkan keadilan-Nya. Allah memiliki kedaulatan, dan di dalam kedaulatan Allah, Ia menetapkan tatanan bahwa manusia harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Di sini manusia diberi kedaulatan oleh Allah untuk mengatur dirinya dan menentukan nasibnya atau menentukan keadaannya. 

Apakah seseorang mau mengasihi Tuhan atau tidak, itu tidak tergantung siapa pun, bahkan juga tidak tergantung Tuhan. Ingat, hal itu tergantung dari manusia itu sendiri. Tuhan memiliki integritas keagungan kepribadian. Tidak mungkin Tuhan memaksa seseorang untuk mencintai diri-Nya. Manusia saja yang berakhlak, berintegritas, dan bermoral, pasti tidak akan memaksa orang untuk mencintai dirinya. Kalau seseorang memaksa orang lain untuk tunduk demi kesenangannya, kepentingannya pribadi, atau memaksa orang untuk menghormati dirinya, memuji dirinya, mencintai dirinya, bisa dipastikan orang itu jahat, lalim, kejam. Orang seperti itu, akan tega menjatuhkan orang lain, demi mencapai apa yang diinginkannya.

Allah kita tidak demikian. Allah tidak memaksa kita untuk mencintai-Nya. Kita sendirilah yang harus menggerakkan diri kita untuk mencintai Tuhan. Sesungguhnya, ini prinsip penting, kita mau mengasihi Tuhan atau tidak, tergantung diri kita sendiri. Kita berhak memilih objek mana yang akan kita cintai. Jadi, kalau Tuhan di dalam firman-Nya mengatakan, “Kasihilah Tuhan Allahmu,” artinya bahwa kita harus menggerakkan diri kita untuk mencintai Dia. Melakukan hukum ini, pasti kita akan memenuhi hukum yang kedua, yaitu mengasihi sesama seperti diri kita sendiri. Jangan sampai kita menjadi pasif, karena mengasihi Tuhan itu merupakan proses bertahap di mana cinta itu bisa menjadi matang atau dewasa.

Jadi, yang pertama, kita yang menggerakkan. Kedua, harus kita dewasakan. Pertanyaannya, apakah kita sudah menggerakkan cinta kita kepada Tuhan? Sebab di sekitar kita banyak objek yang memesona dan merangsang kita untuk membangkitkan cinta kepada apa yang di sekitar kita. Masalahnya, kita sudah telanjur jatuh cinta dengan dunia. Sehingga irama jiwa kita dikotori karena menikmati cinta itu dengan segala pesona, dan segala rangsang atau impuls. Padahal firman Tuhan mengatakan, “Barangsiapa mencintai dunia ini dan apa yang ada di dalamnya, cinta Bapa tidak ada pada orang itu.” Jadi, tidak ada ruangan cinta untuk Bapa, karena ruangan cintanya telah terisi untuk dunia.

Jangan sampai hati kita menjadi beku untuk Tuhan, tetapi lumer untuk dunia. Orang-orang seperti ini akan tidak mampu mencintai Tuhan lagi. Mereka sudah terbelenggu, terperangkap oleh dunia. Jadi, kita harus menggerakkan hati kita untuk mencintai Tuhan, supaya saat kita meninggal dunia, kita dibawa ke Rumah Abadi. Setelah itu, baru kita memasuki dinamika mengembangkan cinta itu, supaya cinta kita matang dan dewasa.

Kita sendirilah yang harus menggerakkan diri kita untuk mencintai Tuhan.