Kalau kita bisa keluar dari belenggu cara berpikir duniawi yang masih memandang hidup dari perspektif kefanaan, sungguh betapa indahnya. Perspektif kefanaan artinya hidup yang hanya diisi dengan keinginan untuk memiliki pemenuhan kebutuhan jasmani, kebutuhan materi, tetapi kalau kita bisa keluar dari belenggu ini, maka kita bisa menembus batas. Bukan berarti hal duniawi itu tidak penting, tetapi orang percaya yang benar pasti dipelihara Tuhan—entah jadi kepala, badan, atau ekor—yang penting kita efektif untuk Kerajaan Surga. Entah kita naik mobil mewah, setengah mewah, motor, atau kendaraan umum, yang penting kita terus disempurnakan untuk menjadi orang yang layak masuk ke dalam Rumah Bapa sebagai anggota keluarga Kerajaan Allah. Kita tidak sedang berpikir fatalistik, seakan-akan kita tidak butuh dunia ini.
Kita harus bekerja keras, hidup bertanggung jawab sesuai dengan pilar ketiga Gereja Suara Kebenaran Injil. Tentu kalau orang bekerja keras dan bertanggung jawab, Tuhan pasti berkati. Jadi sebenarnya ada hukum alam yang sudah merupakan tatanan yang Tuhan buat. Bahwa kalau orang bekerja keras, pasti memperoleh apa yang patut diterimanya. Bukan secara mistik karena memberikan perpuluhan, rajin ke gereja, maka seseorang jadi direktur. Kita tidak ikuti cara-cara berpikir seperti itu. Mari kita berpikir sebagai anak-anak Allah dengan kecerdasan rohani yang proporsional.
Mari kita merenung, apa yang bisa paling kita sesali sebelum menutup mata? Sejatinya, yang paling kita sesali adalah ketika kita gagal mencapai hal-hal yang bernilai kekal. Ketika seseorang berada di ujung maut dan dia harus melepaskan segala sesuatu, maka dia sadar bahwa yang dibutuhkan adalah hal-hal kekekalan. Pastinya, yang paling dia sesalkan adalah ketika dia tidak menggunakan waktunya untuk mengumpulkan harta di surga.
Tuhan ingatkan satu hal, yaitu: kalau kita mau berhasil, lihatlah tokoh-tokoh iman dalam Alkitab, bagaimana dan berapa mereka membayar harga keberhasilannya. Misalnya, Abraham. Ia merupakan sosok manusia yang sukses, sehingga disebut sebagai bapak orang percaya. Ini tidak main-main. Kalau sampai disebut “bapak orang percaya,” itu pasti luar biasa. Artinya, percaya kita harus mengacu pada model percayanya Abraham. Abraham disebut bapak orang percaya, karena tindakannya. Apa yang dilakukan Abraham? Dia rela kehilangan apa pun demi yang dipercayainya. Ini baru percaya yang benar. Bukankah Abraham disebut sebagai sahabat Allah, sebagai orang percaya, ketika ia mempersembahkan anaknya, Ishak? Mari kita renungkan betapa hebat pria satu ini. Pasti tidak ada sesuatu yang lebih disayangi Abraham, selain Ishak.
Ketika Allah meminta Abraham untuk mempersembahkan anaknya, Ishak, tidak ada adu argumentasi di situ. Tidak ada tawar-menawar dengan Tuhan. Jawaban Abraham hanya, “ya.” Lalu satu hal yang kemudian kita peroleh adalah kalau kita percaya Tuhan Yesus dengan percaya yang benar, maka kita harus rela kehilangan apa pun. Hal yang paling berat yaitu kehilangan diri kita sendiri; harga diri, perasaan, nafsu, atau ego, tetapi tanpa melakukan hal ini, artinya kita tidak percaya dengan benar kepada Tuhan Yesus. Sebab orang yang percaya dengan benar, haruslah membunuh dirinya dan menghidupkan Yesus di dalam hidupnya. Sungguh, tidak ada hidup sukses yang lebih dari ini.
Jadi kalau Alkitab mengatakan, “Kumpulkan harta di surga,” berarti kita mengumpulkan karakter Kristus di dalam diri kita, menghidupkan karakter Kristus. Ingat, karakter Kristus tidak bisa hidup di dalam diri kita, kalau kita masih memiliki karakter kita sendiri. Maka, Tuhan sering mengatasi manusia lama kita dengan pukulan-pukulan, dengan hajaran-hajaran. Ini simultan dengan cara kita memandang segala sesuatu dari sudut kekekalan tadi. Percayalah, oleh pimpinan Roh Kudus, mestinya kita bisa mengukur seberapa kita telah ‘sukses.’ Mestinya kita bisa, karena Roh Kudus pasti beritahu, “Yang ini kamu belum benar. Yang itu bukan karakter Kristus. Yang ini, watakmu, karaktermu yang belum kamu salibkan.” Pasti Tuhan akan bicara kepada kita.
Sadarkah kita bahwa kita masih sering mengenakan manusia lama? Jujur saja kita sering kali tidak peduli hal itu. Setan menipu dengan mengatakan, “Tidak apa-apa, nanti kamu bertobat. Sekarang lakukan dulu. Tidak apa-apa, kan masih ada waktu.” Padahal semakin kita menunda, artinya semakin kita terikat. Ataupun kalau nanti kita berhenti dari dosa itu, kita tidak bisa sampai maksimal; prestasi hidup kita tidak akan sampai tinggi. Berhentilah berbuat dosa. Jangan anggap remeh Tuhan. Jangan menunda pertobatan. Allah Bapa ingin kita berhasil dengan versi Tuhan. Jangan kita berpikir dengan pikiran manusia, tetapi kita harus berpikir dengan pikiran ilahi.
Kalau kita mau berhasil, lihatlah tokoh-tokoh iman dalam Alkitab, bagaimana dan berapa mereka membayar harga keberhasilannya.