Firman Tuhan jelas mengatakan kepada kita sejak di Perjanjian Lama bahwa Allah yang kudus menghendaki umat-Nya kudus sesuai dengan standar Allah. Bagi umat Perjanjian Lama, standarnya adalah Sepuluh Hukum Tuhan atau Taurat yang harus mereka patuhi. Tetapi standar di Perjanjian Baru, kesucian yang harus dimiliki orang percaya adalah Yesus, Anak Tunggal Bapa, Tuhan Yesus Kristus. Alkitab jelas menulis, “Keluarlah kamu dari antara mereka, jangan menyentuh apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu sebagai anak-anak-Ku laki-laki dan anak-anak-Ku perempuan” (2Kor. 6:17-28). Di dalam Surat 1 Tesalonika 4:7 tertulis, “Bahwa kita dipanggil bukan untuk melakukan apa yang cemar melainkan apa yang kudus.” Dalam 1 Petrus 1:16-17, jelas mengatakan bahwa, “Kita harus kudus seperti Allah” (Kesucian). Alkitab jelas mengatakan dalam kitab Matius 5:8, “Tanpa kesucian tidak seorang pun melihat Allah.” Jadi, kesucian adalah hal yang mutlak. Tetapi hal ini sudah jarang diperdengarkan. Mengapa?
Yang pertama, karena sistematika teologi yang meleset. Kehidupan Kristiani yang harus dijalani diganti dengan rumusan-rumusan sistematika teologi, doktrin atau dogma. Di antaranya tentang jalan keselamatanl; salahnya atau kelirunya menjelaskan kalimat “keselamatan bukan karena perbuatan baik.” Keselamatan memang bukan karena perbuatan baik, melainkan karena anugerah Allah, inisiatif Allah; bukan manusia baik, karena tidak seorang manusia pun baik jika dilihat dari standar kesucian Allah. Allah memberikannya secara cuma-cuma, bukan berdasarkan jasa kebaikan manusia. Tetapi, justru anugerah itu diberikan supaya manusia bisa hidup sesuai dengan yang dikehendaki Allah, bukan hanya supaya manusia dapat dibebaskan dari akibat perbuatan salah. Berbuat salah bagaimana pun, dosanya ditebus aman-aman saja; ini sesat! Dan ini ajaran yang jahat yang membuat orang Kristen tidak mengerjakan keselamatannya dengan takut dan gentar. Ini yang membuat banyak orang Kristen menjadi wajar seperti manusia lain, dan gereja-gereja menjadi padam. Contoh jelas, gereja-gereja di Barat yang tadinya menjadi pusat pengutus dari para misionaris ke Indonesia. Sejarah membuktikan.
Karena ajaran yang salah ini, gereja menjadi mati. Kalau Alkitab berkata, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.” Itu mengundang aktivitas kita, respons kita. Kita harus menyambut, menerima bahwa Allah menghendaki kita suci seperti diri-Nya. Dan anugerah Tuhan disediakan. Yang pertama, pembenaran. Kita dianggap benar walaupun belum benar. Lalu Bapa memberikan kita Roh Kudus yang menuntun kita kepada seluruh kebenaran. Lalu juga Tuhan juga memberikan kita Firman, dimana Roh Kudus akan membuka pengertian pikiran kita, sehingga kita mengerti Firman. Mengapa kita tidak berjuang untuk itu? Mengapa kita tidak meminta kepada Tuhan untuk mencapai level-level yang Allah kehendaki tersebut? Kalau untuk masalah utang piutang, masalah rumah, masalah hukum, masalah anak sakit, masalah orang sakit, mungkin diri kita atau orang-orang yang kita kasihi; tidak bisa tidak, kita memaksa-maksa Tuhan untuk menjawab dan mengabulkan doa kita. Tetapi mengapa untuk kesucian hidup yang itu menyangkut nasib kekal kita, kita tidak meminta-minta, kita tidak bergumul sungguh-sungguh? Mengapa kita tidak berani untuk berkomitmen, berjanji, dan bertekad bahwa apa pun yang terjadi, dan berapa pun harga yang harus kita bayar, kita mau hidup suci? Dan berani mengatakan: “Yang lain boleh tidak Engkau kabulkan, tetapi yang satu ini jangan Engkau tidak kabulkan. Bapa, buat aku hidup suci seperti Putra-Mu, buat aku hidup tidak bercacat tidak bercela sesuai standar kesucian-Mu, buat aku menjadi anak kesukaan Bapa.”
Yang kedua, melihat kenyataan adanya kekurangan dan kelemahan yang masih ada dalam diri kita dan jejak rekam kita yang jatuh bangun. Juga kita dapati pada hamba pilihan Tuhan, seperti pendeta, pemuka agama, dan lainnya. Sejatinya, kalau memang ini kehendak Bapa untuk kita hidup suci, maka tidak ada pilihan lain. Apa pun yang akan terjadi nanti dan berapa pun harga yang harus kita bayar, mestinya kita berani. Mengapa kita tidak nekat senekat-nekatnya untuk mencapai kesucian hidup seperti yang Allah Bapa kehendaki atau standar kesucian yang Bapa kehendaki? Paulus juga mempunyai kekurangan kelemahan. Dia mengatakan dalam suratnya kepada jemaat Roma, “Aku tahu apa yang baik, tetapi yang jahat yang aku lakukan.” Paulus yang sadar akan kelemahannya, bahkan ketika dia berkata, “Duri dalam daging itu untuk menahan supaya dia jangan sombong.” Itu berarti dia sadar, masih banyak kekurangan di dalam dirinya.
Tetapi lihat komitmennya, “Bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan.” Kalau Yesus sudah mati untuk kita, kita semua sudah mati; dan kalau kita hidup, kita hidup untuk Dia. Walaupun Paulus banyak kekurangan, tetapi dia punya tekad. Maka, mari kita bertekad. Apa pun yang terjadi, biar kita dipandang sombong atau bodoh, terserah. Kita akhiri sisa umur hidup kita dengan kesucian hidup seperti kekudusan yang Allah kehendaki. Dalam hidup ini, kita memang banyak kesulitan. Tetapi, jangan menyurutkan tekad untuk hidup suci. Jangan kita licik. Kalau sedang punya masalah, kita mendekat kepada Tuhan begitu rupa. Tetapi kalau kita tidak dalam masalah, kita tidak mendekat dengan Tuhan begitu rupa. Kita mau hidup suci, dalam keadaan susah atau senang, karena kita mau menyenangkan Tuhan senantiasa.
Jangan kesulitan hidup menyurutkan tekad kita untuk hidup suci, sebab kesucian adalah hal yang mutlak.