Tidak mudah untuk berbicara secara lengkap dalam kata dan tulisan yang dapat membangkitkan gairah seseorang untuk berkemas-kemas. Sebab, tidak banyak orang yang bisa menghayati betapa tragisnya hidup ini, dan betapa rentannya hidup ini. Sebagian besar dari kita, mungkin jauh-jauh hari memang sudah menghayati betapa tragis dan rentannya hidup ini, sehingga sudah tidak asing lagi mengenai kekekalan, langit baru bumi baru. Tetapi berapa banyak yang sungguh-sungguh menghayati tragisnya hidup ini? Jika kita mau jujur, secara logika saja kita bisa perkirakan, seberapa senangnya hidup ini? Rumah sebesar apa yang bisa membahagiakan Saudara? Mobil semewah apa yang bisa membahagiakan Saudara? Baju bagus, perhiasan, arloji semewah apa yang bisa membahagiakan Saudara? Itu menjadi berharga dan dikejar hanya oleh orang-orang yang dipecundangi, orang-orang yang dibelenggu oleh dunia ini. Bukan tidak boleh memiliki segala fasilitas tersebut, tetapi jangan sampai kita lupa bahwa kita akan mati, dan itu bisa terjadi setiap saat. Dan setelah mati, kita akan menghadapi kekekalan. Betapa mengerikannya itu!
Alkitab jelas menunjukkan bahwa kita harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita selama hidup. Padahal, Allah menghendaki kita sebagai umat pilihan-Nya untuk memiliki kekudusan atau kesucian seperti Bapa, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus” (1Ptr. 1:16). Dan jelas sekali, Alkitab menghendaki agar kita serupa dengan Yesus. Jelas! Memiliki pikiran perasaan Kristus (Flp. 2:5-7), sempurna seperti Bapa (Mat. 5:48). Kita tidak boleh anggap remeh hal ini. Ironis, hari ini banyak orang berkata, “Mana mungkin kita bisa sempurna seperti Bapa?” Padahal, jelas Alkitab berkata begitu. Masalahnya, karena tidak sanggup atau tidak mau? Dan memang jika kita melihat jejak rekam hidup kita yang selalu jatuh bangun, kita bisa menjadi pesimis dan berkata, “Ya, sudahlah. Saya tidak mungkin sempurna.” Dulu, saya juga berpikir tidak bisa. Dengan pernyataan “tidak bisa” itu, berarti kita tidak menghormati Tuhan. Sebab, Tuhan Yesus Kristus yang bicara dimana suatu hari, kita akan meninggal dunia dan Tuhan Yesus akan duduk sebagai Hakim. Kita semua akan berdiri di hadapan takhta pengadilan Kristus. Makanya, jauh-jauh hari kita sudah harus bersedia untuk bertobat.
Untuk bisa bersiap berkemas-kemas, satu kalimat yang muncul di pikiran saya adalah “Pisahkan dirimu dari dunia ini.” Itu bukan berarti secara fisik kita memisahkan diri dari pergaulan, dari komunitas dimana kita hidup, melainkan agar kita benar-benar memiliki cara berpikir atau mindset yang berbeda. Cara berpikir yang berbeda akan menggerakkan motivasi-motivasi hati kita dan sikap hati kita secara berbeda pula. Sehingga, apa yang kita lakukan itu digerakkan oleh motivasi yang benar, oleh sikap hati yang benar. Secara lahiriah, kita tidak berbeda dengan orang-orang di sekitar kita dalam beberapa aspek; seperti berkeluarga, bekerja, bisnis, studi, dan berbagai kegiatan lain yang memang menjadi tanggung jawab orang pada umumnya. Sama-sama bekerja, sama-sama berumah tangga, sama-sama studi, sama-sama melakukan berbagai kegiatan di tengah-tengah masyarakat atau di tengah-tengah kehidupan ini. Tetapi yang menggerakkan kita melakukan hal-hal itu, berbeda dengan mereka. Makanya cara berpikir kita harus diubah secara radikal. Ini yang namanya memisahkan diri dari dunia. Secara fisik, kita ada di tengah-tengah masyarakat, kita ada di dalam dunia ini, kita melakukan kegiatan-kegiatan yang dalam beberapa hal sama—ingat, tidak semua hal sama—tetapi motivasi dan sikap hati kita melakukan semuanya itu berbeda. Motivasi dan sikap hati yang benar pasti mengarahkan segala sesuatu yang kita lakukan untuk kesukaan hati Allah Bapa.
Sering kita mengucapkan kalimat-kalimat untuk memuliakan Allah, seperti: “Allah itu besar, Allah itu luar biasa, Dia dahsyat, oh, Dia baik.” Itu jelas, dan memang tidak salah mengucapkan puji-pujian seperti itu. Tetapi bagi Allah, yang penting adalah sikap batiniah. Kalau kita membaca di dalam Alkitab, bangsa Israel pernah ditegur oleh Allah dalam Hosea 6:6, “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah lebih dari pada korban-korban bakaran.” Juga di 1 Samuel 15:22, Tetapi jawab Samuel: “Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan.” Saudara, ini lebih dari liturgi, lebih dari kebaktian, lebih dari penyembahan kita di jam-jam doa, yaitu bagaimana kita mengisi hari hidup kita dengan sikap hati dan motivasi hidup yang benar dalam melakukan segala hal. Dan untuk itu, kita harus bersedia dulu merubah sikap hati.
Merubah sikap hati itu ternyata tidak bisa cepat. Benar-benar bukan seperti membalik telapak tangan. Merubah sikap hati itu membutuhkan waktu panjang, karena hati kita telah terbentuk selama belasan atau puluhan tahun. Tetapi bisa, tetapi mungkin! Yaitu melalui kebenaran Firman yang kita dengar. Sampai pada titik tertentu, kita berani berkata, “Aku tinggalkan dunia.” Kesenangan kita, kebahagiaan kita hanya Tuhan. Kita hidup hanya mau memperhatikan apa yang Allah ingini dan kita mau melakukannya. Lakukanlah! Roh Kudus akan berbicara lebih lengkap dan menuntun kita menjalaninya.
Bangkitkan gairah untuk berkemas-kemas, karena setelah mati, kita akan menghadapi kekekalan.