Skip to content

Frekuensi yang Benar

Kita masing-masing secara individu harus benar-benar mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Kita harus serius mencari Tuhan, mengalami Tuhan secara riil, bukan hanya karena kita membaca Alkitab, mendengar khotbah atau kesaksian orang, melainkan karena kita benar-benar membutuhkan Dia sehingga kita benar-benar mengalami perjumpaan dengan Allah. Perjumpaan demi perjumpaan, pasti membangun keintiman, kedekatan, kelekatan dengan Tuhan. Tahukah kita bahwa Tuhan memberi diri bagi kita? Tuhan tidak membatasi diri-Nya. Seberapa banyak kita mau, Tuhan beri. Seberapa kita mau dekat, seberapa kita mau lekat, Tuhan sediakan. Tetapi masalahnya ada pada kita. 

Tidak banyak orang yang sungguh-sungguh mempersoalkan atau memperkarakan mengenai keberadaan Allah. Kalau di sekolah teologi atau di sekolah Alkitab, mereka mempersoalkan ilmu tentang Tuhan; bagaimana bisa memiliki pemahaman secara rasio, secara pikiran di dalam nalar, hal-hal mengenai Tuhan, hal-hal mengenai Allah yang ditulis di Alkitab. Lalu merumuskan menjadi ajaran, doktrin, buku karya ilmiah, di mana itu juga bisa mengangkat derajat karena seseorang yang belajar di sekolah tinggi teologi memiliki gelar, dan gelar pasti memberi nilai di dalam kehidupan di masyarakat gereja. 

Mereka puas dengan pengetahuan mengenai Allah, tetapi kurang sungguh-sungguh untuk mencari Tuhan dan mengalami perjumpaan dengan Allah. Sebab Indeks Prestasi atau nilai yang mereka peroleh dari kegiatan akademis, itulah yang akan menentukan kelulusan mereka, keberhasilan mereka dalam meraih gelar kesarjanaan. Namun, tidak dinilai seberapa mahasiswa tersebut mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Jika kita melihat dengan lensa mata rohani, betapa jauh dari standar. Jadi bisa dimengerti mengapa jemaat dibawa kepada kondisi di mana tidak merasa perlu ada perjumpaan dengan Allah. Karena apa yang dilakukan di dalam gereja, di dalam liturgi, sudah dirasa cukup menjadi media bertemu dengan Tuhan. Liturgi itu sudah menjadi sarana mereka bertemu dengan Tuhan. 

Semua serba formalitas, sehingga hal itu tanpa disadari telah membuat gambaran bagaimana hubungan antara umat dan Allah yang begitu formal. Namun, perjumpaan demi perjumpaan dengan Tuhan setiap hari akan membangun keintiman dan kita dapat menemukan frekuensi yang benar. Kapan menangis, kapan tidak. Tuhan menikmati ketulusan itu. Sebab kalau frekuensi palsu, itu munafik. Ini juga termasuk waktu kita menyanyi. Hati dan gerakan tubuh kita harus seimbang. Jangan jadi orang yang memainkan peranan. Ketika mau berdoa, kita berperan sebagai pendoa. Padahal doa itu dialog. Kita harus memiliki perjumpaan dengan Tuhan setiap hari, memiliki dialog dengan Tuhan, sehingga kita menemukan bahasa perjumpaan itu, yang masing-masing individu pasti khas, tidak ada yang sama. 

Kita akan menyesal kalau tidak pernah menemukan frekuensi yang pas. Berarti hubungan kita tidak benar dan kita tidak layak bertemu Dia, itu masalahnya. Orang yang tidak memiliki frekuensi yang pas, pasti munafik. Kalau kita dengan tulus mengatakan, “aku mau menyenangkan-Mu, Tuhan,” Tuhan menikmati. Sebaliknya, kalau orang pura-pura dan tidak ada ketulusan, Tuhan tidak merasakan. Tidak mungkin dia diperkenankan masuk surga. Tidak harus menangis, tetapi tangisan itu bahasa keintiman. Seperti ketika kita bertemu sahabat yang sudah 20 tahun tidak ketemu, kita bisa menangis, tetapi kalau bertemu orang yang tidak intim, walau kita sudah tidak bertemu 30-40 tahun, maka kita tidak akan menangis. 

Air mata adalah bahasa emosi. Emosi tidak kelihatan, tetapi air mata menunjukkan emosi kita. Kita berurusan dengan Allah, kita menyentuh Allah dengan segenap tubuh, jiwa, dan roh. Sebagai orang kharismatik pada umumnya berpendapat kalau tidak menangis, berarti tidak ada urapan. Jadi, kita memancing urapan dengan menangis. Kalau itu kanak-kanak, masih Kristen baru, Tuhan maklum. Namun, kalau sudah dewasa rohani, mestinya sudah tidak lagi. Tangisan kita harus lahir dari hati dan memiliki frekuensi yang pas dengan Tuhan. Jadi, tidak semua orang yang berdoa tanpa air mata berarti tidak dekat dengan Tuhan.

Ayo, jumpai Tuhan tiap hari sampai kita menemukan frekuensi itu. Allah itu hidup, Allah itu nyata. Kita bisa menyentuh hadirat Tuhan dan Tuhan juga bisa menyentuh hati kita, sampai kita memiliki frekuensi yang pas. Tidak fantasi, tidak dibuat-buat. Harus seiring dengan Roh Kudus. Jangan karena suasananya begitu bagus, kita melepaskan emosi sampai berlebihan sehingga tidak seiring dengan Roh Kudus. Kita adalah orang-orang yang mengembara di dunia untuk mencapai kesempurnaan, kesucian. Kita berbenah, kita berkemas-kemas. Ingat, rumah kita di surga. Kita mau didapati tak bercacat, tak bercela. Kalau kita serius memperkarakan ini, kita sampai di puncak, pasti ada air mata. Air mata karena, pertama, untuk mencapai kesucian. Kedua, dalam pelayanan. Namun ingat, Tuhan memedulikan perasaan kita. 

Perjumpaan demi perjumpaan dengan Tuhan setiap hari akan membangun keintiman dan menemukan frekuensi yang benar.