Satu hal yang sangat penting untuk kita sadari, kita mengerti, dan kita akui, bahwa bukan Allah sebenarnya yang membutuhkan kita, melainkan kita yang membutuhkan Allah. Kita harus tahu, kalau kita membutuhkan Allah, bukan saja karena kita membutuhkan pertolongan-Nya dalam berbagai persoalan hidup yang kita alami berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan jasmani di bumi ini, melainkan terutama mengenai pemenuhan kebutuhan kekal kita. Dan pemenuhan kebutuhan kekal kita hanya satu: Allah sendiri. Kita harus memandang bahwa Allah adalah kebutuhan yang lebih dari segala kebutuhan. Sesungguhnya, inilah kunci kehidupan, kelimpahan itu. Ini kunci dari kehidupan yang berkelimpahan. Jadi kalau Tuhan Yesus berkata, “Aku datang untuk memberi hidup supaya mereka memilikinya dalam segala kelimpahan,” itu berarti melalui kurban Yesus di kayu salib, kita dibenarkan di hadapan Allah.
Selanjutnya, di dalam Tuhan Yesus, kita dimuridkan. Jadi kalau Tuhan Yesus berkata, “Jadikan semua bangsa murid-Ku,” artinya “jadikan semua mereka hidup seperti hidup yang Kujalani, yang Kuajarkan kepadamu. Sebab dengan hidup seperti hidup yang Kujalani, kamu memiliki kemuliaan Allah.” Hanya orang yang memiliki kemuliaan Allah, yang memiliki Allah. Tidak memiliki kemuliaan Allah berarti tidak memiliki Allah. Tuhan Yesus datang untuk menunjukkan bagaimana menjadi manusia yang memiliki kemuliaan Allah itu. Itulah sebabnya kalau kita ikut Tuhan Yesus, artinya kita mengikuti jejak Tuhan, kita belajar hidup seperti hidup yang Yesus jalani, yang intinya adalah dapat melakukan kehendak Bapa.
Kita membutuhkan Allah bukan hanya karena kita membutuhkan pertolongan Allah terkait dengan pemenuhan kebutuhan jasmani, tetapi karena Allah sendiri itulah kebutuhan kita. Merasa membutuhkan Allah inilah yang dimaksud dengan “lapar dan haus akan kebenaran” di Matius 5:6 itu. Dan ini juga yang dimaksud oleh Tuhan Yesus, sebagai “orang sakit yang membutuhkan tabib.” Sejatinya, kita harus merasa cukup untuk pemenuhan kebutuhan jasmani—itulah sebabnya firman Tuhan mengatakan “asal ada makanan dan pakaian, cukup”—sehingga, fokus kebutuhan kita adalah Allah sendiri. Karena fokus kebutuhan kita adalah Allah sendiri, maka kita harus berjuang untuk memiliki kualitas hidup seperti Tuhan Yesus Kristus, Sang Teladan. Semua keinginan kita, seturut dengan kehendak-Nya, tidak seperti Lusifer yang memberontak melainkan seperti Yesus yang prinsip-Nya “Makanan-Ku melakukan kehendak Bapa-Ku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Fokus kebutuhan-Nya adalah Allah saja. Demikian juga kita, sampai tingkat dimana seseorang bisa berkata, “yang kuingini Engkau saja. Sekalipun daging dan hatiku habis lenyap, gunung batu dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.”
Itulah sebabnya Yesus berkata kalau seseorang mau mengikuti Yesus, ia harus melepaskan segala sesuatu, sebagaimana perkataan Tuhan untuk orang kaya di Matius 19:21-23. Namun, ini bertentangan dengan filosofi dunia, dimana hidup seseorang yang berkualitas adalah jika ia bergelar banyak, jabatannya tinggi, uangnya banyak, hartanya berlimpah, terhormat, tersanjung. Tetapi, Tuhan Yesus mengajarkan berbeda. Dalam Lukas 14:33 Tuhan mengatakan, “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.” Ironis, kebenaran yang murni seperti ini sudah hilang dari hidup kekristenan. Berbeda dengan zaman gereja mula-mula. Begitu mengaku percaya kepada Tuhan Yesus, hartanya habis, keluarganya bisa dibunuh, dirinya juga bisa dibunuh atau dipenjara, disiksa, dianiaya. Tetapi kalau zaman sekarang ini, orang tidak mengerti atau tidak mau mengerti kalau percaya Tuhan Yesus, maka ia harus kehilangan hidup. Galatia 5:24-25 mengatakan, “barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsunya.” Berarti, ia tidak berhak punya keinginan, kecuali keinginan itu maunya Allah. Jika seseorang benar-benar mengasihi Tuhan, dia pasti mau. Dan demi itu, ia harus menyalibkan daging dengan segala hawa nafsunya.
Jadi sekarang, kebutuhan kita harus menjadi seperti Yesus. Yang penting kita jangan bikin salah. Kita lewati hari tanpa bikin salah. Pengadilan Tuhan kelak yang akan membuktikan mengenai kebenaran hidup kita. Oleh karenanya, kita harus memiliki perasaan membutuhkan Allah secara proporsional, seperti orang sakit membutuhkan tabib. Jika tidak menyadari keadaan sakit tersebut, orang tidak fokus berusaha untuk mengobatinya guna kesembuhan. Jikalau kita tidak fokus kepada penyakit kita—penyakit karakter, penyakit jiwa—kita pasti terfokus kepada yang lain, yang tidak membawa kesembuhan. Dan itu membuat keadaan kita semakin buruk. Kita lebih mengingini harta dunia seperti kekayaan untuk prestise. Mencari kekayaan dunia, bukan tidak boleh. Kekayaan harus diusahakan, tetapi tujuannya bukan kehormatan manusia. Jika terhormat, hal itu pun tidak salah. Tapi bagaimana kita menggunakan kehormatan itu yang memiliki dampak bagi keselamatan jiwa orang lain?
Fokus kebutuhan kita adalah Allah saja, sampai pada tingkat dimana kita berkata, “Yang kuingini Engkau saja. Sekalipun daging dan hatiku habis lenyap, gunung batu dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.”