Skip to content

Firman yang Mencerdaskan

Di dalam Roma 7:22, Paulus mengemukakan, “… sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, …” Selanjutnya di ayat 23-24 dikatakan, “… tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku. Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” Namun di Filipi 3:7-9, tertulis, “Ditinjau dari hukum, aku tidak bercacat. Syukur kepada Allah! Oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Jadi dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa.” 

Sepertinya kedua pernyataan Paulus ini saling bertentangan. Tentu tidak! Karena hukum Allah standarnya adalah standar menurut Allah, bukan baik menurut standar Paulus sebelum ia bertobat. Paulus memahami apa yang baik menurut Tuhan, ia melayani hukum Allah, sementara ia masih ada dalam kodrat dosa. Kodrat artinya sifat dasar yang menguasai seseorang, sehingga orang akan berperilaku sesuai dengan sifat dasarnya. Jadi, manusia berdosa hidup di bawah hukum dosa. 

Hukum dosa berbeda dengan hukuman dosa. Manusia yang telah kehilangan kemuliaan Allah berkeberadaan tidak akan pernah bisa tepat melakukan segala sesuatu sesuai kehendak Allah. Itu yang dimaksud dengan hukum dosa (kodrat dosa). Jangan berpikir, manusia menjadi bejat seperti binatang, tidak! Manusia masih bisa baik secara hukum. Walaupun tentu tidak sempurna. Allah yang bijak, kalau ada kegagalan melakukan hukum, ada binatang yang dikorbankan. Maka, Paulus mengatakan, “Aku tidak bercacat,” bukan berarti ia tidak pernah salah. 

Kalau salah, dia bisa menyelesaikannya dengan darah domba. Dia tahu apa yang baik menurut Allah, tetapi dia tidak mampu melakukannya, karena hukum dosa di dalam dirinya. “Syukur kepada Kristus…” karena Roh Kudus menuntun. Kita mesti berjuang, menyangkal diri. Daging kita jangan diberi makan. Tentu perlu proses bertahap, karena pergumulan melawan keinginan daging itu berlapis-lapis. Sudah lewat satu, muncul lagi yang lain.

Kita sudah sabar menghadapi seseorang, nanti bertemu lagi orang jahat. Maka, mesti ada peristiwa hidup supaya kita bisa mengenali diri sendiri. Ibarat berenang, awalnya di kolam renang, lalu di sungai. Lalu, di sungai yang bergelombang. Sampai akhirnya, di laut yang lebih besar gelombangnya. Supaya, kita mengenali seberapa kita mampu.

Seseorang tidak mencuri, karena belum punya kesempatan, atau karena tidak ada objek yang bisa dicuri. Misalnya 500 ribu, ia tidak mencuri. Tetapi, bagaimana kalau 5 miliar? Ini bisa terjadi pada semua orang, termasuk orang yang mengasihi Tuhan. Namun kalau ia terus bertumbuh, maka dia memiliki haus dan lapar akan kebenaran. Selanjutnya, Tuhan membuka matanya untuk melihat, dan akan memuaskan dia. Sebab standarnya itu sempurna seperti Kristus. Jadi jangan heran, kalau mau disempurnakan Tuhan, kita bisa mengalami hal-hal yang Tuhan Yesus juga alami. 

Jadi agar kita memiliki gen dari Allah, kita harus belajar Firman; bukan hanya Firman yang bertalian dengan etika—jangan begini jangan begitu—melainkan Firman yang mencerdaskan. Sebab peristiwa-peristiwa hidup itu harus ditangkap oleh kecerdasan rohani sampai kita bisa melihat dan mengenali diri kita. Tuhan akan membawa kita kepada situasi-situasi. Tetapi kita tidak akan bisa mengerti maksud Tuhan di balik situasi itu, kalau kita tidak belajar kebenaran. Jadi, kebenaran Firman itu mencerdaskan.

Kecerdasan rohani itu bertahap. Hebatnya, Roh Kudus akan menunjukkan kepada kita kisah-kisah di Alkitab, pernyataan-pernyataan Tuhan. Itu membuat kita bisa menangkap maksud Tuhan ketika menghadapi situasi tertentu. Tuhan tidak bisa mengubah orang tanpa masalah atau tanpa kejadian. Ada orang yang tidak bisa berjalan; tubuhnya lemah. Namun bukan karena kakinya lemah, melainkan karena dia sendiri tidak mau bergerak. Ototnya tidak mau digerakkan, sampai akhirnya tidak bisa digerakkan. 

Kita harus bergerak supaya kita bertumbuh. Makanya, kalau mau jadi atlet yang sukses, harus ada rintangan, harus ada latihan. Tuhan pun mendidik kita lewat kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa. Tuhan membidik hal-hal salah yang melekat di dalam daging dan jiwa kita. Bagaimana Tuhan melepaskan unsur-unsur itu? Tuhan tidak mengadakan sulapan dengan mencabutnya, tetapi Tuhan memberi proses yang membuka kodrat-kodrat dosa kita. Sekaligus, Tuhan mengajarkan kita karakter-Nya. 

Kalau proses ini terus berlangsung, pasti itu mengubah kodrat kita, dan akan membentuk, menguasai, menentukan sikap hidup kita. Sampai akhirnya, kita bukan tidak berbuat salah, melainkan tidak bisa berbuat salah. Bukan tidak membenci, melainkan tidak bisa membenci. Memang untuk sampai tingkat ini berat, tetapi bisa. Maka, Paulus mengatakan, “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku,” berarti ia sudah berkodrat ilahi. 

Kita harus belajar Firman yang mencerdaskan.

Sebab peristiwa-peristiwa hidup itu 

harus ditangkap oleh kecerdasan rohani.