Kalau kita percaya Alkitab itu memuat kebenaran dari Tuhan, kita harus benar-benar percaya—seperti Daud dan banyak tokoh iman lain yang menjadi kekasih Tuhan—bahwa kita benar-benar beruntung. Dan kita juga mau mengusahakan diri menjadi kekasih Tuhan. Namun, itu tergantung dari kita. Jelas, kalau dari pihak Allah, Allah mengasihi kita, rela memberikan Putra Tunggal-Nya, Yesus Kristus; kasih-Nya tidak diragukan. Tetapi, seberapa kita benar-benar juga memberi diri untuk menjadi kekasih Dia, itu masalahnya. Harus kita sadari bahwa jika kita menjadi kekasih Tuhan, maka kita adalah manusia yang paling beruntung. Kita tidak perlu ragu atau khawatir dengan masa depan yang tidak pasti. Tuhan Yesus menggambarkan providensia atau pemeliharaan Allah yang sempurna dalam Matius 6:25, “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” Pada ayat berikutnya, Tuhan memberikan analogi pemeliharaan Allah terhadap burung dan bunga bakung yang hendak menekankan jaminan pemeliharaan hidup bagi setiap mereka yang percaya dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, permasalahan utama dalam menjalin relasi dengan Tuhan bukan terletak pada pemenuhan kebutuhan jasmani yang telah diberikan dengan sempurna, jika manusia bertanggung jawab atas hidupnya.
Masalahnya adalah apakah kita memiliki gelora dan gairah untuk menjadi kekasih Tuhan? Gelora atau gairah ini merupakan dorongan yang mengarah pada perubahan pola berpikir dan gaya hidup yang sepenuhnya diabdikan bagi Allah. Matius 6:24 berkata, “Kamu tidak bisa mengabdi kepada dua tuan, terang tidak bisa bercampur dengan gelap, Allah adalah Allah yang cemburu.” Oleh karenanya, kita tidak boleh memiliki kekasih lain dalam hidup ini. Orang di sekitar kita sangat kita cintai, tetapi cinta kasih kita kepada mereka tidak melebihi kasih kita kepada Tuhan. Kita yang harus menggores jiwa kita untuk mengasihi-Nya. Mengarahkan jiwa untuk mengasihi Tuhan tidak mudah dan perlu waktu panjang. Dalam hal ini, setiap individu harus memperkarakan diri setiap saat, apakah masih ada seseorang atau sesuatu dalam hatinya yang lebih berharga ketimbang Tuhan? Sadarilah bahwa setiap kita akan menutup mata. Akan tetapi, sebelum hal itu terjadi, kita mau melekatkan diri kita dengan Allah. Untuk itu, tidak boleh ada ikatan dosa di dalam diri kita. Kita harus belajar untuk tidak terikat dengan kesenangan dunia, harta dunia. Inilah yang disebut memiliki hubungan yang eksklusif dengan Tuhan.
Menjadi kekasih Tuhan memiliki dampak luar biasa bagi kehidupan kita. Di satu titik, kita akan memiliki rasa takut dan gentar akan Dia secara benar. Kemudian kita akan hidup suci dan rela berkorban apa pun demi pekerjaan-Nya. Semangat seperti ini senada dengan semangat yang dimiliki Paulus ketika ia berkata dalam Kisah Para Rasul 20:24, “Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.” Kesucian yang dimiliki Paulus telah mencapai titik ekstrem sehingga membuatnya rela mengorbankan nyawanya bagi pekerjaan Allah. Dalam konteks ini, seseorang tidak lagi takut atau khawatir dengan kematian. Setiap mereka yang mencapai titik ini, akan merindukan untuk pulang berjumpa dengan Allah sendiri.
Dalam perjuangan mencapai titik kesucian yang ekstrem, kita harus menanggalkan segala sesuatu yang membuat hati kita bercabang. Kesediaan kita menanggalkan segala sesuatu akan mengarahkan hati kita untuk memahami maksud dan tujuan Allah bagi kita. Dengan kata lain, kita memahami rancangan semula Allah bagi diri kita, yakni memiliki hubungan yang eksklusif dengan-Nya. Memiliki relasi yang eksklusif dengan Allah adalah sebuah kesempatan mahal yang tidak akan terulang. Oleh karenanya, jangan sampai kita menyayangkan sesuatu dalam hidup ini untuk dilepaskan demi Allah. Jangan sampai kita seperti Esau yang menukarkan hak kesulungannya demi semangkuk makanan, dimana ketika ia menginginkannya kembali, tidak ada kesempatan lagi baginya.
Kesediaan kita menanggalkan segala sesuatu akan membuat kita dapat memiliki hubungan yang eksklusif dengan-Nya.