Mempelajari apa yang dinyatakan dalam Mazmur 73, kita dapati adanya dua realitas kehidupan. Yang pertama, bagaimanapun kita tidak dapat menghindari kesulitan hidup yang juga dialami oleh manusia lain pada umumnya. Karenanya, kita jangan mencoba meminta dispensasi dari Tuhan agar tidak mengalami kesulitan-kesulitan hidup yang dialami oleh manusia lain juga. Orang benar sering kali jalannya dibuat sulit oleh Tuhan supaya tselem atau rupanya tidak dipandang hina. Ditunjukkan kepada kita, bagi orang yang tidak berurusan dengan Allah, hidupnya seperti mimpi. Realita yang dihadapinya adalah kegelapan abadi. Dimana ketika ia meninggal, ia lenyap ke dalam tempat gelap, selamanya. Orang sering berpikir bangsa Israel itu istimewa, maka kita sebagai orang Kristen, Israel rohani, juga istimewa. Namun harus diingat, orang Israel sendiri juga hidupnya terseok-seok. Bangsa Israel hanya menempati tanah leluhurnya 700-900 tahun, dan selama ribuan tahun, mereka dibuang. Di negeri di mana mereka menetap pun teraniaya. Puncaknya, pada waktu Perang Dunia Kedua, 6 juta orang Yahudi dibantai.
Kepada orang-orang yang mengasih-Nya, Allah sering menunjukkan kasih-Nya dengan membawa orang itu kepada keadaan yang sangat tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan. Orang Kristen abad mula-mula, termasuk murid-murid Tuhan Yesus—betapa Tuhan Yesus sayang kepada mereka—justru hidup dalam penderitaan yang luar biasa. Pasca kenaikan Tuhan Yesus ke surga, terjadi aniaya; Yakobus dipenggal kepalanya, Petrus akhirnya mati disalib dengan kepala di bawah, Thomas mati di belanga panas. Tetapi penderitaan itu justru mempersiapkan mereka untuk memperoleh kemuliaan kekal. Hari ini kita juga mengalami penderitaan yang sama, tapi dalam bentuk beda; bukan penderitaan fisik, melainkan penderitaan batin. Ketika kita menjaga kesucian, kita malah diserang, difitnah, dikhianati.
Kedua, di dalam pergumulan hidup yang kita alami, Tuhan membawa kita ke jalan-jalan-Nya yang mempersiapkan kita masuk Kerajaan-Nya. Kita harus percaya ada kehadiran Allah dalam kehidupan, yang melalui segala peristiwa yang kita alami, kita diproses, dibentuk, digarap, didandani, dipercantik Allah untuk menjadi anak-anak Allah yang layak menjadi anggota keluarga Kerajaan Surga. Keadaan-keadaan sulit yang kita alami dan bisa kita hayati, akan membuat kita bisa menghayati penderitaan orang lain, membuat kita merindukan dunia yang akan datang, serta mendorong kita mengajak orang-orang untuk ke sana. Oleh sebab itu, kita tidak perlu mempermasalahkan apakah yang kita alami itu menyenangkan atau tidak, menguntungkan atau tidak, dari kacamata manusia. Tetapi perkarakan ini: apakah kita menjadi indah di mata Tuhan? Keadaan yang dipandang tidak menyenangkan atau dinilai sial atau buruk, bisa merupakan berkat. Dalam bahasa Ibrani, kata “berkat” adalah berakhah yang artinya juga the power of life, kuasa hidup. Kuasa hidup bagi kita adalah bagaimana mencapai kesucian Tuhan, dan layak menjadi anggota keluarga Kerajaan.
Itulah sebabnya, selama hidup, kita harus mengalami penggarapan, karena itulah harta abadi seseorang. Tuhan Yesus berkata, “Apa gunanya seorang memperoleh segenap dunia kalau jiwanya binasa?” Keadaan sulit yang dihadapi oleh kekasih-kekasih Allah adalah usaha Allah untuk mempercantik mereka, agar mereka layak menjadi anak-anak Allah, guna menjadi mempelai bagi Kristus. Tidak masalah, di bumi ini kita tidak dihargai. Tidak masalah, di bumi ini kita diremehkan, dihina, dicemooh, dan tidak terpandang. Akan tetapi, dalam Kerajaan Surga kita menjadi orang yang keadaannya dimuliakan dalam pandangan Allah. Jadi, kalau kita diperkenan Tuhan untuk menderita, terimalah itu sebagai realitas dan berkat. Jangan memandang dari perspektif yang salah.
Keadaan-keadaan yang sulit bisa menjadi seperti ombak yang menggiring kita ke pantai kehidupan, dan pantai itu adalah Tuhan. Itulah cara Tuhan membela kita. Ini adalah orang yang hidup dalam kawasan Ilahi, dimana mereka akan terus memiliki kehidupan di hadirat Allah. Yang diingininya hanya Tuhan. Sebagaimana yang dikatakan Pemazmur, “Selain Engkau, tidak ada yang kuingini di bumi;” sejak di bumi, ia sudah tidak mengingini apa pun. Hal ini bisa kita buktikan pada saat seseorang menghadapi maut. Apakah selama hidupnya ia sudah tidak menginingi apa pun selain Tuhan, atau masih sibuk menggenggam dunia. Ada orang yang sedang berada di ujung kematian, seperti menggapai-gapai sesuatu untuk pegangan. Dia tidak bisa berpegang ke Tuhan, karena tangannya banyak barang. Sebaliknya, ada orang yang begitu tenang, karena tahu ada malaikat Tuhan yang menjemputnya. Sebab selama hidup, ia sudah mengosongkan diri.
Bagaimanapun, kita tidak dapat menghindari kesulitan hidup yang juga dialami oleh manusia lain pada umumnya.