Kalau seseorang memiliki obsesi menjadi orang kaya—memiliki rumah besar, apartemen mewah, villa di pinggir pantai, misalnya—maka ia akan berusaha untuk mendapatkan banyak uang. Bagi seorang pelajar yang berambisi menjadi lulusan terbaik, maka ia akan berusaha untuk bisa mencapai prestasi tertinggi; sumacumlaude. Lalu mengapa kita tidak berusaha untuk mendapat penilaian dari Allah: “berkenan?” Kalau kita bisa memiliki gairah ini, betapa beruntungnya. Sejatinya, kita bisa menyalakan gairah itu di dalam diri kita. Tergantung kita. Jangan dibodohi oleh diri sendiri—dengan catatan itu pikiran Iblis—yaitu: “Saya tidak mungkin bisa berkenan. Urusan itu nanti saja, sekarang tidak bisa, belum bisa, tidak mungkin bisa dengan keadaan seperti saya hari ini.” Dengan pemikiran seperti itu, kita dikunci dalam kebodohan. Sebagai manusia yang memiliki godaan-godaan, kita mungkin saja sudah menyerah terhadap godaan-godaan tersebut, lalu kalah. Kalau ditanya atau kita memperkarakan itu dengan diri sendiri, maka jawaban kita: “masih proses.” Setuju, memang kita harus melalui proses untuk menjadi berkenan. Tetapi, progresif tidak? Ada kemajuan tidak?
Kalau tidak ada kemajuan, berarti kita tertambat atau diam. Lalu mengapa kita bisa tenang, damai, nyaman? Di setiap harinya, pertama-tama kita harus membawa diri kita di hadapan Tuhan, dan memperkarakan apakah kita sudah berkenan atau belum. Kalau belum, selidiki bagian mana yang Tuhan belum berkenan? Tuhan pasti memberi tahu. Selanjutnya kita mulai lepaskan satu demi satu. Kita akan sangat menyesal ketika kita meninggal dunia dan berdiri di hadapan takhta pengadilan Kristus, namun kita belum memiliki predikat “berkenan di hadapan Allah.” Dalam Roma 8:17 dikatakan, “Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.” Kira-kira kalau karakter seseorang masih berantakan, layakkah ia tidak disebut ahli waris yang dimuliakan bersama-sama dengan Tuhan Yesus?
Secara implisit, dalam kalimat “dipermuliakan bersama-sama dengan Dia” termuat kebenaran bahwa kita harus punya karakter, moral serupa dengan Dia. Kita harus seimbang dengan Tuhan Yesus. Maka, kalau karakter kita masih berantakan, kita tidak akan bisa dimuliakan bersama dengan Kristus. Memang tidak banyak orang yang serius merenungkan hal ini. Untuk itu, kenali diri kita sendiri. Kira-kira apakah orang seperti kita layak tidak menerima janji-janji Allah bersama-sama dengan Kristus? Mari kita persoalkan dan pikirkan dengan serius dengan serius. Ini penting sekali. Ini lebih penting dari hal menikah, lebih penting dari hal punya anak, lebih penting dari kebutuhan rumah, mobil, dan lain sebagainya. Ini lebih penting, yaitu menjadi anak yang berkenan, dan yang layak menjadi ahli waris, layak memiliki hak, menerima janji-janji Allah yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus. Maka Paulus mengatakan di 2 Korintus 11:2-3 bahwa kita ini orang-orang yang disebut sebagai mempelai wanita, dan Kristus adalah mempelai pria, itu pun secara implisit (secara tidak terang-terangan) menunjukkan bahwa kita harus seimbang dengan Tuhan. Jadi masalahnya sekarang adalah bagaimana kita bertumbuh dewasa sehingga kita layak menjadi mempelai? Kata “mempelai” itu sudah mengisyaratkan bahwa kita harus cantik, mengimbangi kegantengan, keelokan Tuhan Yesus.
Saat ini kita harus memiliki perasaan krisis; dimana “jangan-jangan hari ini aku akan menghadap Tuhan.” Jadi kita serius sekali membenahi diri. Kita serius untuk menyelesaikan keadaan kita yang berantakan, yang belum beres ini. Kalau dulu tidak seperti ini, karena kita merasa selalu “masih ada waktu.” Di sini kita ceroboh. Padahal, seandainya memang masih ada waktu namun karena kita selalu menunda, maka kita tidak pernah menjadi bentuk seperti yang Bapa rancangkan. Di lain pihak, tidak sedikit orang yang berkata bahwa dirinya rindu pulang ke surga. Sejujurnya, apakah mereka yang berkata seperti itu sudah siap? Sudah berkenan? Sudah menyelesaikan tugasnya? Jangan berpikir kalau kita masih punya waktu panjang. Setiap waktu yang Tuhan berikan kepada kita kiranya kita gunakan untuk mengoreksi diri, memeriksa diri, dan berubah. Maka kita tidak boleh memandang ada sesuatu yang bernilai tinggi kecuali Tuhan dan Kerajaan-Nya. Tapi kalau sampai kita bisa memiliki prinsip bahwa tidak ada yang bernilai kecuali Tuhan dan Kerajaan-Nya, berarti kita adalah orang yang layak dimuliakan.
Orang yang layak dimuliakan adalah dia yang memiliki prinsip bahwa tidak ada yang bernilai kecuali Tuhan dan Kerajaan-Nya.