Skip to content

Dikoyakkan oleh Kebenaran

Seberapa seseorang percaya kepada Tuhan, dapat dilihat dari seberapa dia menghargai Tuhan, menghormati Tuhan, dan merasa membutuhkan-Nya. Kalau ada orang tidak hidup di dalam kesucian dan masih mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini, artinya ia belum percaya dengan benar. Itu bisa dimengerti kalau seseorang masih belum dewasa rohani; masih kanak-kanak, tetapi hal itu tidak boleh berlangsung terus-menerus. Seiring dengan pendewasaan rohani seseorang, artinya seseorang mengenal dan mengalami Tuhan, maka dia akan menghormati Tuhan, menghargai Tuhan, dan merasa membutuhkan-Nya yang ditandai dengan kesucian hidup dan tidak mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini. Jika hal itu dicapai oleh seseorang, maka seseorang baru mengerti betapa berharganya Tuhan di dalam hidup ini. 

Suatu hari nanti banyak orang akan menyesal mengapa mereka tidak meneguk Tuhan sebanyak-banyaknya ketika Tuhan memberi Diri untuk diteguk, dinikmati. Mereka tidak membiarkan dirinya “digigit” oleh Tuhan, tetapi “digigit” oleh dunia. Masing-masing orang memiliki kemampuan menghargai Tuhan yang berbeda. Orang Kristen yang baru boleh berkata, “Kau segalanya bagiku,” tetapi sebenarnya di dalam dirinya masih mengalir banyak selera dunia. Selera dunianya masih mengalir, belum habis. Mulutnya mengatakan, “Kau segalanya bagiku. Kau yang terindah di dalam hidupku, yang termanis,” tetapi masih menghargai Tuhan murah. 

Hal itu tidak bisa hanya difantasikan. Kalau difantasikan, sering kali antara mulut dengan keberadaan itu tidak cocok. Kalau orang masih duniawi, kehidupannya itu masih kehidupan yang sebatas makan minum, pakaian, dia belum bisa mengatakan “ku perlu Kau lebih dari nyawaku.” Tetapi ketika seseorang sudah menginjak dewasa atau sudah akil balik, atau sudah dientaskan dari cara berpikir dunia, ia bisa memandang kehidupan dari perspektif yang berbeda. Maka, dia baru bisa berkata, “ku perlu Kau lebih dari nyawaku.” Tetapi yang sampai di titik ini, tidak banyak. 

Dalam Mazmur 73, kita membaca bahwa pemazmur sempat nyaris tergelincir melihat orang fasik sehat, gemuk, orang berbondong-bondong ikut dia, dan “senang selamanya,” artinya selama hidup tidak ada kesulitan. Sedangkan dia, kena tulah, pukulan. Dia menjadi bingung mengapa demikian. Tetapi dia baru tahu pada akhirnya, ketika masuk Ruang Suci Tuhan, dia baru tahu. Makanya pemazmur yang memiliki pengalaman itu mengatakan, “Ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya, aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu, tetapi aku tetap di dekat-Mu. Engkau memegang tangan kananku. Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan.” 

Setelah dia diremukkan, baru bisa mendengar nasihat Tuhan. Orang fasik, tidak bisa mendengar. Jadi, kalau hati kita masih bisa dikoyakkan oleh kesenangan dunia, kita tidak bisa dikoyakkan oleh kebenaran. Kalau kita masih bisa dibahagiakan oleh dunia, kita tidak bisa dibahagiakan oleh Firman. Dengan kalimat lain, kita tidak bisa dinasihati secara benar. Hati kita tidak seperti tanah subur yang menerima taburan kebenaran. Suatu hari nanti, orang akan sangat menyesal mengapa tidak meneguk Tuhan sebanyak-banyaknya; mengapa masih meneguk dunia. 

Jadi, kalau seseorang benar-benar menghormati Tuhan, dia hidup suci. Dia tidak mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini. Tuhan tidak mungkin tidak menolong kita. Keadaan kita sekarang yang berantakan justru membawa kita untuk mengenal Tuhan. Sebab kalau tidak, maka kita tidak bisa duduk diam mendengar Firman. Kita mutar-mutar berpikir: “Hari ini mau makan di mana, mau nonton apa, mau belanja apa.” Kita tidak mencari Tuhan. Mungkin kita juga tidak hormat kepada orang tua, mungkin kita juga sewenang-wenang terhadap sesama. Keadaan kita saat ini adalah keadaan yang terbaik untuk kita. Sekarang yang kita lakukan adalah bagaimana meneguk Tuhan sebanyak-banyaknya. 

Orang yang tidak menghormati Tuhan dan tidak merasa membutuhkan Dia, adalah orang yang tidak percaya atau kurang percaya. Memang, percaya itu berproses. Maka, seiring dengan perjalanan waktu, orang mengenal Tuhan. Dari pengetahuan, lalu bersentuhan dengan Tuhan. Tentu melalui doa dan pengalaman hidup setiap hari dia memberi diri “digigit” oleh Tuhan, sehingga menerima perkara-perkara surgawi, dan mengerti betapa berharganya Tuhan. 

Ironis, banyak orang mengkhianati Tuhan tanpa dia sadari. Ketika mengharapkan sesuatu yang dia pandang akan membahagiakan, sejatinya, dia mengkhianati Tuhan. Mereka menganggap Tuhan itu murahan. Namun sebaliknya, orang yang percaya kepada Tuhan, pasti menghormati Tuhan dan memiliki perasaan membutuhkan Dia. Membutuhkan Dia bukan karena sesuatu, tetapi karena Dia sendiri. Lebih dari nyawanya, sebab apa artinya punya nyawa tanpa Tuhan. Tuhan dalam kesabaran-Nya masih menunggu kita sadar dan bertobat. Kita pagari diri kita dengan janji, sumpah, nazar, tekad, komitmen, sebab kita mau pulang. Kita mau pulang dalam keadaan berkenan di hadapan Tuhan. Karena kematian itu pasti, berdiri menghadapi pengadilan itu pasti, jadi kalau kita masih memiliki kesempatan hidup, kita benar-benar mempersiapkan diri. Supaya pada waktu kita pulang, hanya Tuhan yang kita miliki. 

Kalau hati kita masih bisa dikoyakkan oleh kesenangan dunia, kita tidak bisa dikoyakkan oleh kebenaran.