Kehidupan berat yang dijalani hari ini tidak menjadi berat kalau kita melihat pengharapan yang akan datang. Sebaliknya, ketika kita memandang cerahnya masa depan di bumi, maka kita tidak bisa menatap indahnya Kerajaan Surga. Oleh karenanya, seberat apa pun masalah hidup kita, itu menjadi kecil kalau kita betul-betul mengarahkan diri kepada kehidupan yang akan datang, dan berusaha untuk hidup berkenan kepada Tuhan sebagai persiapan untuk menghadap takhta pengadilan Kristus. Hal ini kita lakukan supaya gairah kita menjadi bernilai, seiring dengan potensi makhluk kekal yang disebut manusia. Jangan seperti gairah yang ada pada hewan yang hanya demi bertahan hidup, mereka mencabik-cabik binatang lain yang lebih lemah. Hewan tidak mengerti kekekalan, tiada harapan kekekalan. Gairahnya tidak bernilai. Maka, kalau gairah kita hanya pada rumah bagus, mobil, kedudukan, kekuasaan, kita tidak lebih baik dari hewan. Bukan hanya berebut kekuasaan di luar gereja, bahkan di dalam gereja pun dapat terjadi perebutan kedudukan dan kekuatan.
Banyak orang Kristen merasa bahwa yang penting tidak jahat, tetap rajin ke gereja, apalagi menjadi aktivis; cukup. Padahal, menjadi Kristen itu harus sempurna seperti Bapa, serupa dengan Kristus. Ini sepadan dengan kemuliaan yang kita akan peroleh bersama-sama dengan Tuhan Yesus. Maka, kalau seseorang menunda apa yang harus dilakukan sekarang, dalam kurun waktu tertentu, ia bisa jadi membatalkan. Kalaupun kita mau melakukannya, belum tentu kesempatan itu ada. Kuasa gelap itu menipu dengan pemikiran bahwa sekarang ini—selama masih di dunia dan belum menghadap tahkta pengadilan Allah—kita itu tidak akan bisa mengerti kita nanti masuk surga atau masuk neraka. Jadi, cukup diyakini saja. Kalau seseorang sudah mulai berpikir begitu—yang penting hanya diyakini—maka pasti tidak ada usaha yang maksimal. Sebagaimana seorang atlet yang dilatih untuk ikut lomba Olimpiade, dia harus berlatih sekian lama—tidak mungkin hanya 1-2 kali latihan—untuk memastikan bahwa dirinya layak diikutsertakan dalam perlombaan bergengsi tersebut. Tuhan pun mau kita memastikan diri untuk itu.
Seseorang yang berpikir bahwa Tuhan membuat hal kekekalan adalah suatu hal yang spekulatif, sejatinya ia sedang menuduh Tuhan jahat. Pikiran semacam ini membuka celah Iblis menguasai hidup seseorang. Iblis masuk melalui mimbar gereja, sehingga banyak gereja sesat; kesesatan yang tidak disadari. Mengapa? Karena semua dirumuskan dalam doktrin, dalam sistematika dogmatika sejak di sekolah tinggi teologi. Jangan kita berpikir bahwa hal diterima atau ditolak Allah tidak bisa dipersoalkan sejak sekarang, seakan-akan Allah menyembunyikan hal itu. Jika kita beranggapan bahwa Allah sekarang ini—sementara kita hidup—sengaja menyembunyikan kepastian diterima atau ditolak oleh Allah, kita menuduh Allah itu jahat dan licik. Allah seperti bola liar yang menggelinding dan tidak pernah bisa dipahami ke mana larinya. Sejatinya, sejak masih hidup kita harus sudah memiliki geliat usaha yang jelas, sehingga kepastian keselamatan itu bukan dijawab dalam rumusan doktrin, tapi dalam perilaku hidup. Itulah sebabnya Tuhan menghendaki agar kita itu menguji diri. Kita diajarkan untuk memohon pada Tuhan, membuka pikiran dan menguji diri kita untuk mengetahui apakah jalan kita serong (Mzm. 139; 2Kor. 13; Ef. 5:10).
Untuk dapat kepastian kita diterima atau tidak di Kerajaan-Nya, kita harus menggunakan ukuran keberkenanan di hadapan Bapa. Ukuran keberkenanan tersebut kita peroleh ketika kita melakukan kehendak-Nya. Masalah utamanya sekarang adalah: bagaimana kita tahu kehendak-Nya? Mulailah dari melakukan apa yang kita pandang baik. Yang kita pandang tidak baik, jangan dilakukan. Mencuri, tidak menghormati orangtua, membunuh, berzina, menyakiti orang, pasti salah, bukan? Jangan lakukan. Dimulai dari hal sederhana tersebut. Tetapi harus didasari oleh kesetiaan, dan kerelaan melakukan apa pun yang Allah kehendaki. Kalau dari hal-hal yang kelihatan saja kita tidak setia, bagaimana dengan hal-hal batiniah? Maka hal dasar dahulu perlu digarap, nanti akan berkembang. Bahwa ternyata membunuh itu bukan hanya menghabisi nyawa orang, melainkan membenci pun sudah membunuh. Ketika kita sampai pada kesadaran ini, Roh Kudus mulai memimpin. Kejujuran, ketulusan kita pun mulai berkembang. Sampai kita mulai tidak tertarik dengan keindahan dunia. Itu adalah ciri kita “diterima.” Sebaliknya, kalau kita masih tertarik dengan keindahan dunia, masih ditopang oleh perkara dunia, tidak mungkin kita bisa diterima oleh Allah. Waktu menghadapi kematian, baru kita tahu bahwa semua itu tidak menyelamatkan. Ada rongga kosong yang tetap kosong, yang mestinya diisi Tuhan, tapi pada waktu hidup ditutupi oleh berbagai kesenangan sampai kita tidak punya kehausan yang kudus. Betapa mengerikan!
Sejatinya, sejak masih hidup kita harus sudah memiliki geliat usaha yang jelas, sehingga kepastian keselamatan itu bukan dijawab dalam rumusan doktrin, tapi dalam perilaku hidup.