Kalau kita bisa keluar dari konsep pikiran duniawi lalu masuk ke konsep pikiran rohani—seperti yang tertulis dalam Kolose 3:2, “Pikirkan perkara yang di atas, bukan yang di bumi; set your minds on things above, not on earthly things”—berarti kita bisa memperjuangkan diri menjadi orang yang benar-benar hidup berkenan di hadapan Tuhan. Hidup kita akan sangat berdinamika. Satu dinamika yang tidak dikenal oleh anak-anak dunia, yang juga tidak kita kenal sebelumnya. Sebagai perbandingan—walaupun tidak sama persis—misalnya kalau ada orang yang terpapar ajaran doktrin atau indoktrinasi yang salah, contohnya “jika menjadi teroris, akan masuk surga dan dilayani oleh para malaikat,” maka ia akan mengisi pikirannya dengan bagaimana caranya agar dia bisa punya uang untuk membeli komponen-komponen untuk merakit bom. Biasanya dia akan menutup diri dari lingkungan, supaya tidak dikenali aktivitas kehidupannya. Dinamika hidupnya menjadi berbeda dengan orang di sekitarnya.
Kalau kita bisa memasuki kehidupan kristiani, maka kita akan memiliki dinamika hidup yang luar biasa. Perkara-perkara rohani menjadi satu-satunya perkara sebagai isi dan tujuan hidup kita. Apalagi kalau bisa sampai melangkah bagaimana menjadi orang terkemuka di hadapan Tuhan. Dinamika hidup kita pasti berubah total. “Jika Kristus, yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamu juga menyatakan diri bersama-sama dengan Dia di dalam kemuliaan.” Meskipun kita sekarang tidak dipandang, tidak dianggap, tidak punya nilai di mata manusia, tidak apa-apa. Tetapi jika Kristus yang adalah hidup kita—artinya dinamika anak-anak Allah yang standarnya adalah Yesus—maka ketika Yesus menyatakan diri, dimuliakan oleh Bapa, kita pun akan dimuliakan bersama-sama dengan Dia.
Saat ini, banyak orang yang tidak memedulikan nilai-nilai kekekalan atau hal-hal rohani, apalagi soal kemuliaan bersama Kristus. Tetapi suatu hari nanti—jangankan hal dimuliakan bersama Yesus—kalau sampai tidak masuk langit baru bumi baru, itu sudah merupakan bencana atau celaka bagi mereka. Kalau bagi seorang siswa atau mahasiswa yang penting naik kelas saja, mungkin dia bisa naik kelas juga. Tidak menjadi juara, tidak ada di dalam ranking, tidak berprestasi pun tidak apa-apa. Tetapi hal ini jangan kita coba paralelkan atau analogikan dengan kekekalan. Kalau untuk masalah dunia fana, tidak bisa dibandingkan atau disandingkan dengan kemuliaan kekal.
Banyak orang terbiasa menyelesaikan masalah dengan mudah karena punya uang atau relasi pejabat, sehingga ada kecenderungan irama dalam jiwanya untuk menggampangkan atau meremehkan masalah yang dialami karena merasa bisa dengan mudah menyelesaikan dengan daya yang dimiliki. Jika ini terus-menerus dilakukan tanpa pertobatan, maka mengenai hal kekekalan pun dia akan anggap ringan dan remeh. Biasanya, orang-orang seperti ini tidak menghormati Tuhan. Orang-orang yang punya kelebihan—apakah uang, jabatan, kedudukan—biasanya tidak menghormati Tuhan secara patut. Apalagi kalau dia berhasil “membeli” pendeta, lengkaplah sudah sikap kurang ajarnya.
Jika ia merasa bisa “membeli” pendeta, biasanya dia juga merasa bisa “membeli” Tuhan. Makanya bagi para hamba Tuhan, khususnya para pendeta, mestinya berani berkata, “Aku lebih rela tidak punya jemaat, tidak punya gedung, tetapi aku berkenan di hadapan Tuhan. Daripada punya gereja, punya gedung, lalu menjual diri atau menjual Tuhan.” Seseorang bisa tahu bahwa dirinya bisa menaklukkan pendeta atau tidak. Dalam hati dan pikirannya, ia berkata, “Pendeta ini hormat karena aku punya kedudukan. Pendeta ini tunduk karena uangku.” Apalagi mereka adalah orang-orang yang berpengalaman dalam hidup. Mereka juga punya kecerdasan, dan sudah terbiasa disanjung-sanjung oleh orang sekitarnya.
Orang yang punya kelebihan—baik kekayaan, kedudukan, gelar, prestasi, dan sebagainya—kalau tidak dihancurkan Tuhan, maka dia akan merasa lebih tinggi dan lebih hebat dari orang lain. Bahkan, Tuhan pun akan dia anggap remeh. Namun, tidak semua orang yang punya kelebihan pasti bersikap demikian terhadap Tuhan. Namun tidak sedikit juga orang kaya atau orang hebat lainnya yang punya kerendahan hati, dan tidak bergantung kepada kekayaannya. Pejabat tinggi yang rendah hati, dan tidak menghargai pangkatnya atau bintangnya melebihi Tuhan. Orang-orang yang tetap menyadari keberadaannya yang sepantasnya di hadapan Tuhan.
Tetapi masalahnya sekarang untuk kita, jangan sampai kita yang tidak menghormati Tuhan. Hormat yang kita miliki kepada Tuhan haruslah hormat yang pantas, patut, selayaknya, dan berasal dari ketulusan hati yang paling dalam. Bukan hormat karena menginginkan sesuatu, memiliki agenda pribadi, atau hormat yang hanya diperlihatkan dari luar, namun tidak memiliki nilai kasih dan pengabdian di dalamnya.
Orang yang punya kelebihan—kekayaan, kedudukan, gelar, prestasi kalau tidak dihancurkan Tuhan, maka dia akan merasa lebih tinggi dan lebih hebat dari orang lain. Bahkan, Tuhan pun akan dia anggap remeh.