Kalau setiap waktu kita sudah di hadirat Bapa, selamanya kita di hadirat Bapa. Jangan berpikir “nantilah, selamanya.” Kita harus mulai sekarang. Di situ kita baru memiliki pergaulan dengan Tuhan yang standar, dan kita bisa melihat gerakan Tuhan, tindakan Tuhan, kehadiran Tuhan melalui segala peristiwa hidup yang kaya dengan hikmat dan nasihat, yang membuat kita mengalami perubahan karakter, membuat kita kokoh dan teguh menghadapi segala hal yang akan terjadi di depan. Dunia ini tidak terprediksi. Kejadian-kejadian alam yang aneh dewasa ini, yang pasti kita ikuti, mengisyaratkan bahwa bisa saja terjadi sesuatu yang luar biasa. Maka, kita harus ada di hadirat Allah senantiasa.
Kita akan sangat menyesal kalau kita tidak mulai bergaul dengan Tuhan setiap detik, setiap menit. Kita akan menyesal sekali, mengapa kita masih sembarangan hidup, tidak bersih hidup, merasa takut oleh sesuatu, atau kita tidak punya pengharapan kekekalan, karena kita tidak bergaul dengan Allah secara benar. Dulu kita heran, bingung melihat pendeta pintar khotbah, teolog, tetapi kelakuannya tidak sesuai dengan apa yang dikhotbahkan? Tetapi sekarang kita bisa menjawab. Pengetahuan tentang Allah, tidak menjamin orang takut akan Allah. Harus ada perjumpaan pribadi dengan Tuhan agar kita mengalami-Nya.
Kalau seorang hamba Tuhan mau dipakai Tuhan, maka setiap detik, setiap menit, harus bergaul dengan Allah. Baru dia akan menjadi juru bicara Tuhan, dan pasti mengubah orang. Ini bukan hanya untuk pendeta atau hamba Tuhan, walaupun hamba Tuhan-hamba Tuhan ini sangat berperan dalam pertumbuhan iman jemaat. Kalau pendeta tidak berjalan dengan Tuhan, tidak mengalami perjumpaan, maka dia tidak pernah memiliki hidup yang disaksikan oleh Paulus dengan kalimat “Hidupku bukan aku lagi melainkan Kristus yang hidup di dalam aku,” tidak pernah. Kita harus memburu pengalaman dengan Tuhan.
Jangan kita hanya memaknai apa yang terjadi seakan-akan itu perbuatan Tuhan, tetapi kita tidak yakin bahwa itu perbuatan Tuhan, karena kita tidak memperoleh pelajaran rohani di balik hal itu. Kecuali peristiwa-peristiwa spektakuler seperti mukjizat, baru kita yakin Allah yang bekerja. Mukjizat tidak membuat kita bertumbuh dalam kesempurnaan. Kita punya mata, melihat dari buta, tidak membuat kita menjadi sempurna secara karakter. Kita diteguhkan, betul mukjizat membuktikan Allah itu hidup, tetapi tidak membuat kita mengalami perubahan karakter. Hal yang lebih penting yaitu peristiwa-peristiwa hidup yang di dalamnya ada nasihat Tuhan, ada hikmat Tuhan, yang membuat kita dewasa. Lebih dari uang, kedudukan, pangkat, kehormatan; saat kita menemukan Allah dari pengalaman pribadi, itu lebih penting, bahkan segalanya.
Sebagian besar kita miskin, sangat miskin dalam pengenalan akan Allah melalui pengalaman, melalui fakta empiris. Bagi para teolog, jangan merasa sombong, bisa bicara panjang lebar tentang Allah, tetapi itu tidak menentukan kualitas hidup kecuali sudah bersentuhan dengan Allah. Jangan lewatkan kesempatan ini, selagi Tuhan membuka diri untuk dikenal, “Carilah Aku selama Aku berkenan ditemui.”
Penyesatan yang terjadi, kita bermental blok mengalami Tuhan karena kita merasa belum cukup punya “tiket” untuk mengenal Allah. Tiketnya itu teologi; ilmu tentang Tuhan. Memang tidak diucapkan, tetapi kita bisa bermental blok, ketika merasa tidak akan bisa mengenal Allah secara cukup dan proporsional karena tidak punya ilmu tentang Tuhan. Hal ini bukan berarti teologi atau ilmu tentang Tuhan tidak diperlukan. Bagi pengajar, tentu harus punya ilmu yang cukup memadai. Tanpa perjumpaan dengan Allah, teologi bisa menjadi racun karena akan membangun kesombongan.
Selanjutnya bisa memancarkan pesan, “Aku mengenal Allah dari sekolah teologi, dari pengetahuan.” Jemaat merasa tidak cukup punya tiket untuk mengalami Tuhan, karena tidak punya pengetahuan itu. Pada zaman penganiayaan, orang-orang Kristen tidak belajar teologi, tetapi mereka bisa menjadi orang-orang yang kokoh menghadapi aniaya yang begitu hebat, karena mereka mengalami Allah. Pengharapan akan kedatangan Tuhan membuat mereka rela kehilangan harta. Alkitab berkata, ketika kita mengalami penderitaan badani, kita berhenti berbuat dosa. Teolog jangan membangun kesombongan sekaligus memancarkan pesan, “kamu harus tahu teologi, baru dapat mengalami dan mengenal Allah.”
Allah itu seperti diberangus, ditutup oleh konsep yang toxic. Belajar teologi itu wajib, harus, bagi pengajar. Tetapi orang yang tidak belajar teologi di STT juga berpotensi mengalami Tuhan. Kalau membaca Alkitab, nanti akan terbuka pikiran kita. Kalau kita tidak bertemu Tuhan, kita seperti daun kering. Kalau daging, seperti daging busuk. Jadi, jangan merasa terpaksa ikut kebaktian, terpaksa ikut berdoa, terpaksa ikut puasa. Ayo, kita mencari Tuhan, haus akan Tuhan. “Bilakah aku melihat Allah. Bagaimana aku mengalami Dia, kehadiran-Nya?”
Kalau setiap waktu kita sudah di hadirat Bapa, selamanya kita di hadirat Bapa.