Saudaraku,
Sungguh sangat beruntung kalau kita bisa sungguh-sungguh merindukan Allah. Dan Tuhan pasti bisa merasakan bahwa kita merindukan Dia. Sebagai manusia, kita senang kalau seseorang merindukan kita karena cinta kasih yang tulus. Allah juga demikian. Allah akan merasa kalau kita merindukan Dia. Dan Allah disenangkan, disukakan dengan kerinduan yang kuat terhadap diri-Nya. Masalahnya adalah, bagaimana kita bisa memiliki kerinduan yang kuat, yang tulus kepada Allah? Inilah yang Tuhan ajarkan: kita harus melepaskan semua keinginan, semua kesenangan, semua hobi, kecuali satu: Tuhan. Jadi, tidak muluk-muluk kalau Pemazmur mengatakan, “Selain Engkau, tidak ada yang kuingini di bumi” (Mzm. 73:25). Itu fakta yang bisa terjadi dalam hidup anak manusia. Paulus mengatakan dengan kalimat lain, “Bagiku hidup adalah Kristus” (Flp. 1:21).
Jadi, kita bisa memiliki kehidupan yang sungguh-sungguh merindukan Allah. Kalau hewan hanya mengingini kebutuhan jasmani, memuaskan kebutuhan jasmani, tentu kita jangan seperti hewan yang hanya mencari kesenangan-kesenangan pemenuhan kebutuhan jasmani dan kesenangan-kenangan jiwa yang tidak sesuai dengan pikiran, perasaan Allah. Maka selagi masih memiliki kesempatan untuk bisa berubah, kita yang harus dengan sengaja melepaskan semua keinginan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Harus dengan sengaja, sadar dan rela! Harus dengan keinginan dari diri sendiri yang kuat, “aku hanya mau menyenangkan Tuhan saja.”
Proses ini harus terjadi atau berlangsung dalam hidup kita. Kita sendiri yang mengadakannya. Jangan menunggu ada saat dimana kita bisa menyenangkan Tuhan. Saat itu jangan kita tunggu, saat itu kita yang ciptakan. Dan setiap hari kita memiliki komitmen yang terus kita perbaharui, komitmen untuk mengubah diri. Selalu kita berkata, “Tuhan, hari ini jadikan hari yang baru bagiku, hari dimana aku menjadi lebih berkenan di hadapan-Mu dari hari kemarin. Tuhan, biarlah aku mencapai apa yang belum pernah aku capai di waktu-waktu yang lalu. Pencapaian rohani yaitu, hati yang hanya melekat pada Tuhan dan semakin melekat.”
Dan kita benar-benar bisa melihat hal-hal apa yang mengikat hati kita. Kita lepaskan, walaupun itu sakit dan berat. Tetapi kita bisa melepaskannya kalau kita sungguh-sungguh mau melepaskannya. Kalau kita tidak sungguh-sungguh mau melepaskan, tidak akan pernah bisa. Abraham, bapa orang percaya, memberikan kita teladan iman, bagaimana dia hanya fokus kepada Tuhan, pada panggilan yang Bapa Elohim Yahweh berikan. Dia hanya terus mengisi hari hidupnya untuk memenuhi denga napa yang Allah kehendaki, Allah rencanakan. Ia harus menemukan negeri yang Tuhan tunjukkan, dan dia harus menjadi moyang dari orang percaya, umat pilihan yang jumlahnya seperti pasir di lautan dan bintang-bintang di langit. Ini adalah hal-hal yang benar-benar harus menjadi realita dalam hidup kita, bagaimana Abraham fokus kepada Tuhan, sampai pada titik dimana dia rela melepaskan apa pun demi kesenangan Allah, seperti ketika dia harus mempersembahkan anaknya, Ishak. Dan itu bukti dari iman yang benar.
Iman yang benar ditandai dengan kerelaan kita melepaskan segala sesuatu. Jadi Tuhan Yesus ketika mengatakan, “Jika kamu tidak melepaskan dirimu dari segala milikmu, kamu tak layak bagi-Ku,” atau “kamu tak dapat menjadi murid-Ku” (Luk. 14:33), itu jelas mengisyaratkan bahwa kita harus rela tidak memiliki apa pun selain Tuhan. Kita mengosongkan diri untuk dipenuhi Tuhan. Kita fokus ke langit baru bumi baru. Kita bukan tanpa tujuan untuk masuk ke fokus ketiadaan, dan itu dianggap kebahagiaan. Bukan. Fokus kita jelas, “Tuhan dan Kerajaan-Nya.” Dan kalau kita mengosongkan diri, kita mengosongkan diri demi supaya Dia hidup di dalam diri kita.
Tetapi kita tidak bisa menghidupkan Tuhan dalam hidup kita kalau kita masih menyimpan gairah-gairah dunia, kesenangan dunia, dan terikat dengan segala hiburan dunia ini. Dan inilah risiko dalam mengikut Tuhan Yesus. Maka Tuhan berkata, “Hitung dulu anggarannya kalau mau membangun menara” (Luk. 14:28). Dan Tuhan akan memberi kita kesanggupan untuk bisa melakukan. Betapa bahagianya kita kalau mau memenuhi hal ini. Hidup kita menjadi pekerjaan Allah. Kapan pun, di mana pun kita bisa bersukacita karena Tuhan pasti pelihara, jaga, lindungi kita dengan sempurna. Dan orang yang mengosongkan diri agar Tuhan hidup di dalam dirinya, adalah orang yang pasti dilindungi Bapa, diistimewakan oleh Allah, karena dia adalah anggota keluarga Kerajaan yang suatu hari akan dijemput Tuhan untuk dibawa masuk ke dalam Rumah Bapa.
Kita bersyukur ada di komunitas yang setiap hari menyediakan diri mencari hadirat Tuhan dan wajah Tuhan. Kita bersyukur kita mau menghabiskan sisa umur hidup kita ini hanya untuk hidup di hadirat Allah, menyenangkan hati Tuhan, melakukan kehendak-Nya, memenuhi rencana-Nya. Dan itulah keindahan kehidupan. Itulah kemuliaan dan kehormatan kita. Bukan pada kekayaan, harta, gelar, pangkat. Kita bisa memiliki semua itu dan mencapainya, tapi semua kita persembahkan kepada Tuhan. Gelar, pangkat, harta dan apa pun yang ada pada kita, tidak menjadi kesenangan yang mengikat, melainkan menjadi alat untuk mengabdi dan melayani Tuhan.
Teriring salam dan doa,
Dr. Erastus Sabdono
Selagi masih memiliki kesempatan untuk bisa berubah,
kita yang harus dengan sengaja melepaskan semua keinginan
yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Harus dengan sengaja, sadar dan rela!