Berangkat dari penjelasan bahwa “binasa” itu artinya terpisah dari Allah, “kekal” itu artinya hidup yang bernilai, dan yang bernilai itu adalah hidup dalam persekutuan dengan Allah, maka mestinya sejak hidup di bumi, orang sudah bisa mengerti betapa kosong jiwanya kalau tidak memiliki persekutuan yang baik dengan Allah; betapa menyakitkan kalau kita tidak memiliki persekutuan yang benar dengan Allah. Kemudian, baru dia bisa melihat betapa ngerinya kalau seseorang terpisah dari hadirat Allah selama-lamanya dan tidak pernah mendapat kesempatan untuk dipulihkan. Sebaliknya, ia akan bisa melihat betapa indahnya persekutuan dengan Allah di kekekalan nanti.
Persekutuan dengan Allah, di dunia ini diperjuangkan dengan berat. Kenapa dengan berat? Karena kita menghadapi banyak musuh. Paling tidak, ada tiga musuh yang berbahaya. Pertama, kuasa gelap yang berusaha menarik kita masuk dalam persekutuan dengan kuasa ini. Yang kedua, kita menghadapi diri kita sendiri yang sudah dicemari oleh dunia, sehingga diri kita ini memiliki kehausan-kehausan yang sesat, kehausan-kehausan yang salah. Ibarat orang diabetes, memiliki kehausan minum softdrink. Yang ketiga, yang kita hadapi adalah pengaruh dunia. Dari segala hal yang dilihat dan didengar, semuanya bisa tampak menarik sehingga kita bisa terbawa. Inilah perjuangan yang berat dalam mengikut Tuhan. Harus diketahui bahwa yang berjuang saja belum tentu bisa mengalahkan, apalagi kalau tidak berjuang. Perjuangan ini harus dimiliki oleh setiap orang percaya. Dengan demikian, bukan tanpa alasan kalau Tuhan Yesus berkata, “Banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih” (Mat. 22:14). Bukan tanpa alasan kalau Yesus berkata, “Banyak orang yang berusaha, tapi tidak masuk. Maka, berjuanglah!” (Luk. 13:23-24).
Oleh sebab itu, dengan seluruh kekuatan, perhatian, dan potensi yang ada pada kita, mestinya kita mendahulukan Kerajaan Allah, yaitu hal memiliki kehidupan yang bersekutu dengan Allah. Kalau seseorang menganggap hal ini penting, maka ia pasti mendahulukannya; tetapi kalau seseorang menganggap Kerajaan Allah itu tidak penting, maka tidak didahulukan, bisa ditunda, dikalahkan dengan hal lain yang dianggap lebih penting untuk didahulukan. Sebenarnya, apa yang dikemukakan ini tidak cukup dijelaskan dengan kata-kata. Kita harus bisa mengalami atau menghayatinya dengan sepenuhnya. Kalau seseorang menghayati sepenuhnya hal ini, ia akan menghargai pentingnya Kerajaan Allah. Faktanya, banyak orang yang sudah tidak sanggup menghayati pentingnya hidup dalam persekutuan dengan Allah. Cara pandang atau paradigma mereka sudah rusak.
Oleh sebab itu, harus mendengar kebenaran sampai cara pandang mereka diubah dan berbeda dengan cara pandang dunia. Dengan cara pandang berubah, selera jiwanya juga berubah. Dengan selera jiwa berubah, fokus “pencarian hidup” itu juga berubah. Kalau seseorang belum mengalami perubahan cara pikir atau paradigma, maka berbicara tentang neraka sedahsyat-dahsyatnya juga mereka tidak akan takut. Karena, bagi orang-orang itu, seleranya bukan pada Tuhan melainkan pada dunia. Surga yang digambarkan seindah-indahnya pun tidak akan menarik. Tetapi kalau cara pandangnya diubah, maka seleranya hanya pada Tuhan. Kalau seleranya tertuju kepada Tuhan, tidak usah didesak-desak untuk mencari Tuhan, dia sudah mencari Tuhan dan mendahulukan Kerajaan Allah.
Matius 19:21-23 melukiskan orang kaya yang berkeberatan menjual segala miliknya untuk memperoleh hidup yang kekal atau hidup yang berkualitas. Tentu ini adalah kehidupan yang bersekutu dengan Allah. Untuk memiliki hidup yang kekal, ia harus berhenti menikmati miliknya atau dunia ini, yaitu harta, uang, kedudukan. Ia harus memberikannya kepada orang miskin—yaitu orang-orang yang tidak bisa membalas kebaikan—kemudian datang kepada Yesus dan ikut Yesus. “Ikut Yesus” artinya ikut cara hidup-Nya; cara hidup Yesus yang membangun persekutuan yang benar dengan Allah. Hidup yang bernilai itu standarnya Yesus, karena Dialah sosok atau pribadi yang memiliki persekutuan dengan Bapa secara proporsional; secara benar atau secara ideal. Persekutuan yang ideal digambarkan dalam pernyataan: “Engkau tinggal dalam Aku, Aku dalam Engkau, ya, Bapa,” tetapi juga memberi peluang kepada orang percaya “… supaya mereka tinggal di dalam Kita” (Yoh. 17:20-21). Ini sebuah kehidupan yang benar-benar luar biasa.
Melalui kebenaran ini, kita dipanggil untuk hidup dalam standar anak-anak Allah yang hidup dalam persekutuan dengan Bapa, seperti Yesus. Kita tidak boleh menunda keputusan untuk ini. Kalau tidak mulai sekarang keluar dari keterikatan dengan dunia, seperti orang kaya dalam Matius 19 tersebut, maka kita tidak akan pernah memiliki kehidupan yang berkualitas. Ini juga artinya tidak akan pernah masuk surga menjadi anggota keluarga Kerajaan.