Wahyu 20:11-15, “Lalu aku melihat suatu takhta putih yang besar dan Dia, yang duduk di atasnya. Dari hadapan-Nya lenyaplah bumi dan langit dan tidak ditemukan lagi tempatnya. Dan aku melihat orang-orang mati, besar dan kecil, berdiri di depan takhta itu. Lalu dibuka semua kitab. Dan dibuka juga sebuah kitab lain, yaitu kitab kehidupan. Dan orang-orang mati dihakimi menurut perbuatan mereka, berdasarkan apa yang ada tertulis di dalam kitab-kitab itu. Maka laut menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya, dan maut dan kerajaan maut menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya, dan mereka dihakimi masing-masing menurut perbuatannya. Lalu maut dan kerajaan maut itu dilemparkanlah ke dalam lautan api. Itulah kematian yang kedua: lautan api. Dan setiap orang yang tidak ditemukan namanya tertulis di dalam kitab kehidupan itu, ia dilemparkan ke dalam lautan api itu.”
Kitab Wahyu mencatat suatu penglihatan yang akan terjadi atau pasti akan berlangsung suatu hari nanti, yaitu semua orang akan berdiri di hadapan takhta untuk menerima apa yang patut diterimanya. Ini bukan fiksi atau fantasi, melainkan realitas yang akan dihadapi oleh setiap orang, setiap kita. Semua orang atau hampir semua orang tahu, terutama orang-orang beragama, bahwa setiap orang harus menghadap takhta pengadilan Tuhan. Pasti. Tetapi ironis, mereka tidak memberikan respons yang benar terhadap realitas yang akan dihadapinya.
Sama seperti anak-anak yang nakal, yang tidak bertanggung jawab. Orang tua, dari perjalanan hidup, mengerti. Karenanya orang tua menasihati anak-anak untuk sekolah dengan baik, bergaul dengan baik, hati-hati dalam pergaulan. Anak-anak dinasihati untuk fokus belajar, demi masa depan. Kalau tidak lulus, tidak memiliki keahlian, hidup nanti akan susah, dipermalukan. Tetapi banyak anak yang tidak mau mengerti. Mereka menganggap sepele nasihat orang tua. Ketika mereka sudah menjadi tua, lalu mereka terpenjara di dalam kebodohan dan kemiskinan, di mana mereka tidak bisa keluar dari keadaan itu, barulah mereka menyesal.
Namun, apa pun yang terjadi di bumi ini, masih bersifat temporal atau sementara. Betapa mengerikan kalau seseorang sudah ada di hadapan takhta pengadilan Allah. Sebab yang dihadapi itu nasib kekal, keadaan kekal yang hari ini hampir semua orang menganggap sepele. Apa pun bentuk kegagalan yang dialami seseorang di dunia ini, masih bukan sesuatu yang dahsyat. Masih bisa ditanggulangi dan pasti akan berakhir. Tetapi kalau namanya sudah tidak tertulis di dalam kitab kehidupan, maka ia akan dilemparkan ke dalam lautan api, terpisah dari hadirat Allah selama-lamanya. Betapa mengerikan! Ironisnya lagi, tidak banyak gereja yang menyuarakan dengan tegas, jelas, dan keras akan hal ini.
Jemaat mendapatkan kesan bahwa ke surga itu tidak terlalu sulit. Dikesankan bahwa kalau orang sudah ke gereja, mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, pasti nanti masuk surga. Jadi, tidak heran kalau di pemakaman, di rumah duka, di kebaktian penghiburan, pendeta begitu mudah mengatakan bahwa almarhum atau almarhumah sudah ada di surga, di sisi Tuhan. Ini sembarangan.
2 Korintus 5:9, “Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya. Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.”
Ada neraca kehidupan yang pasti nanti harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jadi, sebenarnya hidup ini tidak gratis. Dan banyak orang telah menjadi sesat dan berpikir bahwa hidup ini gratis. Dia bebas berbuat apa saja dan aman-aman saja, berakhir di kuburan, lalu entah nanti bagaimana. Mereka adalah orang yang tidak berakal. Tidak ada yang bisa lolos dari ketepatan pengadilan itu. Tidak ada yang bisa disembunyikan. Tidak ada yang bisa disuap. Dan betapa mengerikan keadaan itu.
Dunia telah mewarnai kita sehingga gaya hidup kita seperti gaya hidup orang yang tidak berakal tadi. Hidup kita diisi dengan banyak masalah, banyak kesibukan, banyak kebutuhan, dan menganggap hal di hadapan pengadilan Allah itu bisa disingkirkan. Paling tidak, berpikir sementara waktu bisa disingkirkan. Namun, sementara kita menyingkirkan hal itu, kuasa kegelapan membelenggu kita dengan dosa, kesenangan, dan berbagai hal. Banyak orang, hampir semua orang, tidak sungguh-sungguh serius mempersiapkan diri menghadapi hari pengadilan itu. Maka, kita harus jujur melihat diri sendiri, seberapa kita sungguh-sungguh telah merespons realitas pengadilan Tuhan ini.
Apa pun bentuk kegagalan yang dialami seseorang di dunia ini, masih bukan sesuatu yang dahsyat, karena masih bisa ditanggulangi dan pasti akan berakhir.