Banyak orang yang sebenarnya hidup tanpa pengharapan. Kalaupun mereka merasa memiliki atau ada sesuatu yang diharapkan, sebenarnya itu adalah sesuatu yang bukan atau tidak pantas menjadi harapan. Tetapi manusia digerakkan oleh harapan-harapan yang sebenarnya tidak menjanjikan dan bukan pengharapan. Memang, kalau seseorang memiliki suatu pengharapan, hidupnya itu bisa menjadi energik, bergairah, bersemangat oleh karena pengharapan itu. Seorang yang berkarier, dia bekerja keras dengan harapan nanti mendapat promosi jabatan atau kenaikan gaji. Pengharapanlah yang menggerakkan manusia pada umumnya, menggelar dan menapaki hari-hari hidupnya. Tetapi pengharapan semacam itu hanya sementara, sebab:
Yang pertama, belum tentu bisa meraih apa yang dicita-citakan. Seperti seorang pengayuh becak yang selalu membeli lotere dengan harapan akan menang, padahal belum pernah ia menang, tetapi masih saja dia main lotere. Yang kedua, kalaupun tercapai, belum tentu dapat dinikmati. Tidak jarang apa yang dicita-citakan, yang dicapai itu malah menghancurkan hidupnya. Setelah berhasil menjadi orang kaya, misalnya, rumah tangganya menjadi tidak harmonis. Lalu yang terakhir, apa pun yang bisa diraih manusia di dunia ini bersifat sementara. Ini semua fakta, bukan mengada-ada.
Di dalam Roma 8:24 dikatakan, “sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun.” Itulah sebabnya firman Tuhan mengatakan, “kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar.” Jadi, orang percaya yang benar pasti berjuang mengalami proses untuk menjadi sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus, yang sama dengan dikembalikan ke rancangan Allah semula. Dimana nanti kita akan dimuliakan bersama dengan Tuhan Yesus, menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah. Inilah maksud kalimat: “sebab kita diselamatkan dalam pengharapan.”
Kita memiliki pengharapan adanya kehidupan dimana tidak ada sakit-penyakit, krisis ekonomi, bencana, perang, dan kematian. Jadi keselamatan yang kita miliki hari ini, buahnya secara sempurna, secara lengkap belum terwujud. Nanti waktu kaki kita menginjak langit baru bumi baru, kita masuk Rumah Bapa, itu barulah keselamatan dipenuhi secara sempurna. Hal itu yang mestinya menggerakkan hidup kita hari ini. Memang tidak terlihat, tetapi itu yang menjadi pengharapan kita, yang menggerakkan kita menjalani hidup.
Jadi kalau kita harus mengalami keadaan-keadaan yang menurut pandangan mata manusia tidak baik, sebuah musibah, kecelakaan atau kesialan, tetapi Allah demi keselamatan kekal dan kehidupan kekal kita, mengizinkan semua itu terjadi. Supaya kita tidak menaruh pengharapan apa pun untuk kehidupan di bumi ini. Pengharapan kita harus hanya ada di dalam Kerajaan Surga. Sebab dengan demikian, yang pertama, hidup kita akan terpacu lebih benar. Terpacu hidup kudus; tak bercacat, tak bercela. Yang kedua, kita menjadi kokoh, kuat dalam menghadapi segala situasi. Tidak menjadi rentan, lemah, mudah putus asa, karena pengharapan kita ada di belakang langit biru. Pengharapan kita ada di dalam surga, bukan di dalam dunia ini.
Kita harus berani memindahkan pengharapan hidup kita; bukan sekadar “nanti mudah-mudahan aku dapat jodoh,” setelah dapat jodoh, “nanti mudah-mudahan aku punya anak,” setelah punya anak, “mudah-mudahan nanti anakku sempurna, sukses. Suamiku atau istriku adalah pasangan yang ideal dan sempurna. Nanti punya menantu yang baik, bisa menyaksikan cucu-cucu dan melihat mereka semua berhasil dalam studi, kariernya.” Pengharapan yang sesungguhnya itu di kekekalan. Kalau sesuatu dijadikan pengharapan tetapi tidak memenuhi rencana Allah di dalamnya dan tidak mendukung kehidupan kita agar layak masuk ke dalam Rumah Bapa menjadi anggota keluarga Kerajaan-Nya, itu bukanlah pengharapan. Itu bisa menjadi racun, penghalang yang menggagalkan kita memperoleh apa yang bernilai kekal.
Firman Tuhan mengatakan di Injil Matius 6:21, “di mana ada hartamu, di situ hatimu berada.” Ayat ini sebenarnya memberikan kita pesan bahwa kita harus sudah memindahkan hati kita di dalam Kerajaan Surga. Pengharapan kita di langit baru bumi baru. Jadi seberat apa pun masalah yang kita hadapi, kita menjadi kuat. Memang hidup di dunia ini tidak ada pengharapan. Namun ironis, banyak orang keras kepala. Mereka tidak mau tahu bahwa itu bukan pengharapan. Tetapi ketika ia di ujung maut, dia baru tahu betapa fananya hidup ini, semua miliknya ternyata tidak bisa menemani dia. Padahal, untuk semua itu dia berusaha. Mari kita ubah pengharapan kita di langit baru bumi baru. Kalau tidak sampai kepada level ini, berarti kekristenan kita percuma. Maka, Kolose 3:1-3, “pikirkan perkara yang di atas, bukan yang di bumi. Carilah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.”
Bila sesuatu yang kita jadikan pengharapan tidak mendukung terpenuhinya rencana Allah dalam hidup kita, maka itu bukanlah pengharapan.