Skip to content

Bukan Kata Orang

Saudaraku,

Hampir semua orang Kristen mengenal Ayub, paling tidak pernah mendengar kisah tentang Ayub. Yang di dalam Ayub 1 ditulis bahwa ia adalah orang yang saleh dan jujur, ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan, juga seorang yang taat. Setiap hari ia bangun pagi-pagi untuk mempersembahkan korban bakaran. Dan luar biasanya, dalam keadaan kehilangan segala sesuatu, ia masih bisa menyatakan, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan!” (Ay. 1:21). Dalam kesemuanya itu, Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang tidak patut. Ia tidak bersungut-sungut menghadapi pencobaan yang begitu besar, prahara yang begitu besar dalam hidupnya. Lalu Alkitab juga mencatat ketika istrinya menyuruh dia mengutuki Allah supaya dia mati, Ayub berbicara begini, “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?’ Dalam kesemuanya itu, Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya” (Ay. 2:10). 

Inilah kualitas hidup Ayub yang menakjubkan sekali. Dalam pergumulannya, tubuh Ayub penuh dengan barah yang busuk dari kepala sampai kakinya, sehingga dengan sekeping beling dia menggaruk-garuk badannya. Pasti berdarah-darah. Dari seorang kaya raya menjadi manusia miskin dan terbuang seperti ini. Lalu, kalau kita membaca percakapan Ayub dengan teman-temannya, Ayub tidak kalah debat. Ayub bisa berbicara mengenai Tuhan, mengenai kehidupan dengan sangat cakap. Jadi, dapat dipastikan bahwa Ayub juga berpengetahuan. Ia bisa mengimbangi teman-temannya yang berbicara panjang lebar mengenai Tuhan. Tetapi yang mengejutkan adalah ketika Ayub berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau.” Artinya, ia mendengar tentang Allah hanya dari kata orang, dan itu sudah bisa menjadi landasan hidup moral kerohaniannya. Lanjutnya, “Tetapi sekarang, mataku sendiri memandang Engkau.” Kini Ayub memiliki pengalaman berjumpa dengan Allah secara riil. Dia mengalami realitas Allah tersebut.

Orang seperti Ayub—saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan—pasti dikasihi oleh Allah. Dia pasti mendapatkan perlakuan istimewa dari Allah, dimana Allah menggiring Ayub dari pengetahuan tentang Allah menjadi sebuah pengenalan dalam perjumpaan pribadi. Ini berkat yang tidak dialami oleh semua orang. Jadi, tidak bisa dihindari kebenaran dari apa yang telah kita baca melalui ayat Alkitab ini, Saudara. Banyak orang hanya berhenti sampai di pengetahuan mengenai Allah, berhenti sampai di teologi, tapi tidak memiliki perjumpaan langsung dengan Allah. Tetapi kita melihat harga yang harus dibayar oleh Ayub sampai ia bisa berkata, “tetapi sekarang aku sendiri memandang Engkau.” Harganya mahal sekali, Saudara. Melalui semua itu, Ayub telah menjadi sosok yang lebih sempurna, sampai Ayub berani mengatakan, “Ia tahu jalan hidupku, seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas” (Ay. 23:10).

Yang menarik di sini adalah transisi antara pengenalan akan Allah di dalam nalar secara kognitif dengan pengalaman langsung yang dikatakan oleh Ayub itu, “aku melihat sendiri.” Ini luar biasa, Saudara. Sesuatu yang melampaui apa yang dia pernah pahami tentang Allah. Buktinya adalah ketika Ayub berkata, “aku mencabut perkataanku, dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” Jadi, semua yang pernah dikatakan Ayub dalam perdebatan, dalam perbantahan, dalam diskusi dengan teman-temannya, itu belum berkualitas dibanding apa yang Ayub alami sendiri secara langsung.

Saudaraku, 

Setiap kali saya ingat bahwa saya memiliki Allah yang hidup, maka hati saya menjadi kuat. Saya sering menyinggung pengalaman orang-orang Kristen abad mula-mula, bagaimana mereka bisa yakin bahwa Anak Maria itu benar-benar Tuhan? Bagaimana mereka bisa yakin bahwa Allah yang benar, Elohim Yahweh, itu mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus? Sebab, dalam kenyataannya di dalam sejarah gereja, tidak ada tanda-tanda Allah itu hadir dan menunjukkan keperkasaan. Justru sebaliknya, mereka terseok-seok hidup di dalam tekanan dan penderitaan, tetapi mereka setia. Apa yang melatarbelakangi mereka begitu percaya itu? 

Mereka bukan hanya yakin dalam perkataan, melainkan mereka mempertaruhkan hidup mereka, mempertaruhkan harta dan nyawa mereka. Ini lebih dari sekadar yakin dalam penalaran, dalam persetujuan pikiran. Mereka yakin secara benar bahwa apa yang mereka percayai itu benar. Dan itu tampak dari buah hidup mereka. Keyakinan mereka akan Allah, perjumpaan pribadi mereka terhadap Tuhan membuahkan kehidupan yang begitu kokoh mempertahankan iman mereka dengan mengorbankan segala sesuatu yang mereka miliki. Ironis, betapa bedanya dengan orang Kristen hari ini. 

Jadi, di sisa umur hidup kita ini, kalau kita percaya kepada Allah yang hidup, Allah yang nyata, ayo kita memburu Allah dengan sungguh-sungguh. Masing-masing Saudara harus memiliki pengalaman pribadi. Tokoh-tokoh Alkitab bisa mengenal Allah dari pengalaman mereka, ekstrasi dengan pergaulan langsung dengan Allah ini. Jangan sampai ilmu tentang Tuhan malah memarkir orang menjadi bodoh karena merasa sudah punya pengetahuan, dan pengetahuan itu seakan-akan sudah menjadi jembatan menemukan Allah. Lewat proses kehidupan, mereka mengenal Allah. Maka, sekarang kita mau melihat sendiri dan mengenal sendiri. 

Kita ini belum sempurna, Saudara. Saya juga belum, tapi kita mau berprestasi. Dengan mengalami Tuhan langsung, kita bisa lebih mengerti perasaan-Nya, bukan berdasarkan format kalimat-kalimat, tetapi perjumpaan yang membuat kita memiliki ikatan dengan Allah. 

Teriring salam dan doa,

Erastus Sabdono

Dengan mengalami Tuhan langsung, kita bisa lebih mengerti perasaan-Nya; bukan berdasarkan format kalimat-kalimat, tetapi perjumpaan yang membuat kita memiliki ikatan dengan Allah.