Skip to content

Bisnis Kekekalan

Ketika kita menutup mata, kita baru sadar betapa singkatnya hidup ini. Lebih singkat dari yang kita duga dan bayangkan. Kalau sekarang kita bisa mengatakan, “Hidup ini singkat, betapa singkatnya hari,” tetapi sejatinya kita belum menghayati sepenuhnya singkatnya hari itu. Ketika mata pengertian kita terbuka terhadap realitas ini, pasti ada kegentaran yang luar biasa; kegentaran terhadap kedaulatan Allah. Sepanjang berapa pun umur manusia, ia ditentukan mati. Jangan sampai ketika di ujung hidup kita baru menyadari betapa hebat, betapa dahsyat kedaulatan Allah. Ketika tidak ada satu hari pun tersisa, pada waktu itu kita baru menghayati kedaulatan Allah. Kedaulatan Allah yang menentukan durasi waktu hidup manusia. Kemudian, akan disusul dengan kegentaran di hadapan takhta pengadilan Tuhan. 

Jujur saja, kita pasti mengalami yang namanya kejenuhan hidup. Bukan hanya orang di luar gereja, tetapi orang-orang Kristen. Bahkan pendeta, jenuh. Sampai mencari-cari, apa yang harus dilakukan. Bahkan kita yang belajar bergumul dengan Tuhan, ada jenuhnya juga. Berdoa itu ada jenuhnya juga. Kebaktian tiap hari itu bisa ada jenuhnya. Kita ini manusia. Ketika kita merasa jenuh, dan kita mencoba mencari kesibukan untuk mengisi hidup, itu isyarat bahwa kita telah gagal menghayati singkatnya hidup. Kenapa orang bisa bertahan doa berjam-jam? Ada beberapa faktor yang membuat ia sanggup duduk diam di kaki Tuhan. Faktor yang paling dominan, dia tidak punya kesenangan apa pun di luar Tuhan. Tidak ada kesenangan. Mau nonton, mau lihat gadget, walaupun kita minum kopi juga, bisa ketemu teman, tetapi itu tidak menuntut untuk kita lakukan. Kalaupun kita melakukan, pasti ada maksud rohani, maksud Tuhan di situ. 

Mengapa kita bisa duduk diam di kaki Tuhan, bisa tidak jenuh ke gereja, puasa, doa? Karena tidak punya kesenangan. Selain itu, kita belajar menghayati betapa singkatnya hidup ini. Semakin orang mengenal kebenaran, semakin orang melihat dahsyatnya keadaan terpisah dari Allah. Makin menghayati betapa mengerikannya keadaan itu. Seiring dengan ini, dia akan melihat betapa tragisnya hidup. Hidup yang hanya singkat, penuh penderitaan, dan tidak jarang orang masuk neraka. Kalau bisa, kita menangkap sebanyak mungkin orang agar tidak masuk neraka. Sebab, betapa mengerikannya api kekal itu. Tetapi di lain pihak, semakin mengerti kebenaran, kita semakin melihat indahnya Kerajaan Surga. Kita bukan terobsesi bodoh, bukan fantasi, tetapi kita memiliki penghayatan yang benar dan tentu disertai dengan satu penghayatan bahwa dunia bukan rumah kita. 

Semakin mengerti firman Tuhan, satu aspek, kita melihat dahsyatnya terpisah dari Allah; aspek yang lain, betapa indahnya surga dan menghayati dunia bukan rumah kita. Maka, kita akan menggunakan waktu yang Tuhan berikan yang singkat ini, untuk mengisi perjalanan hidup kita demi kekekalan. Tidak ada yang kita kerjakan di luar hal ini. Tidak boleh dan tidak ada yang kita lakukan di luar bisnis kekekalan. Mungkin untuk orang-orang muda, ini sulit. Tetapi jika yang muda-muda, mau, pasti bisa. Bagi yang sudah berumur, mungkin lebih sulit karena sudah terbiasa dengan pola pikir yang fokusnya earthly; duniawi. 

Untuk mengubah fokus, itu tidak mudah. Tetapi kalau mau, bisa. Kalau terkait dengan pendewasaan rohani, pertumbuhan iman, pengharapan langit baru bumi baru, itu tidak ada karunia khusus. Itu dibangun oleh masing-masing individu. Jadi kalau kita melihat orang bisa menghayati bahwa dunia bukan rumahnya, itu bukan karena dia punya karunia khusus, tetapi karena dia memang mengisi hari hidupnya dengan benar. Hidup adalah pertaruhan. Apa yang kita pertaruhkan, itu yang akan kita tuai. Kalau ayat Alkitabnya: “Siapa yang menabur di dalam Roh, menuai kehidupan kekal. Tetapi yang menabur dalam daging, menuai kebinasaan.” Hidup ini pertaruhan. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, kita menabur. 

Kita sadari atau tidak, kita menabur. Taburan kita ini, apakah taburan yang mempersiapkan kita untuk kekekalan yang indah, atau kebinasaan? Dengan menghayati betapa singkatnya hari hidup ini, maka kita akan berusaha mencari perkenanan Tuhan. Tidak mau meleset. Kadang-kadang perkataan kita masih meleset. Kadang-kadang sikap kita ini belum benar; meleset. Kita tidak mau meleset. Kalau kita membiasakan diri tidak meleset, maka sampai titik tertentu, kita tidak akan pernah bisa meleset. Tetapi kalau tidak membiasakan diri, maka cenderung selalu meleset. 

Tidak boleh dan tidak ada yang kita lakukan di luar bisnis kekekalan