Sesuai dengan firman Tuhan bahwa setiap kali kita mengangkat roti perjamuan dan mengangkat anggur perjamuan, kita mengingat kurban Tuhan. Mengingat bukan hanya memunculkan dalam memori kita mengenai kurban Tuhan Yesus Kristus di kayu salib, tetapi kita juga diingatkan untuk terus memperkarakan maksud pengurbanan Tuhan Yesus; apakah benar-benar kita pahami, kita kenakan, kita alami dalam hidup kita? Pertanyaan serius yang harus dipersoalkan adalah: apa dampak dari pengurbanan Tuhan Yesus bagi kita? Bukan hanya nanti setelah meninggal dunia kita diperkenankan masuk surga, tetapi saat ini pasti Allah Bapa menghendaki ada dampak nyata.
Harus ada buah konkret yang diakibatkan oleh pengurbanan Putra Tunggal-Nya untuk kita saat ini, yang juga bisa dinikmati oleh Allah Bapa. Apakah kita menganggap sepi perasaan Allah, seakan-akan Allah Bapa tidak mempersoalkan hal ini, sebab Allah hanya mau menghindarkan kita dari api kekal? Sementara kita hidup, seakan-akan Allah tidak bereaksi apa pun terhadap keadaan kita. Betapa jahatnya kuasa kegelapan yang menyesatkan manusia yang juga menjadi jahat; khususnya kita yang menerima penebusan oleh darah Yesus, tetapi tidak memperkarakan apakah keadaan kita saat ini mengalami dampak yang benar dari pengurbanan Tuhan Yesus di kayu salib yang dapat dinikmati oleh Elohim Yahweh, Allah Bapa.
Banyak orang Kristen yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh menyambut kurban Yesus di kayu salib. Bisa karena tidak tahu atau tidak mau tahu; bisa karena tidak mengerti, tetapi juga karena tidak mau mengerti. Kurban Tuhan Yesus Kristus memiliki dampak bukan hanya nanti di balik kubur, tetapi sekarang ini sejak seseorang hidup. Yang menerima penebusan oleh darah Tuhan Yesus, harus menerima bahwa dirinya dibeli. Berulang-ulang kita mendengar pernyataan ini yang tertuang dalam 1 Korintus 6:19-20. Jelas bahwa kita bukan milik kita sendiri. Itu risiko percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Konsekuensi mengakui bahwa Yesus mati di kayu salib menebus kita, berarti memang kita harus memberi diri dimiliki oleh Tuhan sepenuhnya.
Kalau kita menjadi milik Kristus Yesus, berarti kita harus menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. Tidak boleh menjadi manusia wajar seperti manusia lain. Kepemilikan kita sudah berpindah dari dunia, dari kuasa gelap, dari diri sendiri, kepada Tuhan. Ini yang berat. Kalau kita tidak berani atau tidak bersedia menyalibkan daging dengan segala keinginannya, berarti kita tidak serius menerima penebusan oleh darah Yesus Kristus. Pada umumnya, orang tidak serius. Ia ingin Allah menerima keadaannya yang duniawi, masih kedagingan, lalu mengajak Allah berkompromi.
Seakan-akan Allah diharapkan bisa berkata, “Tidak apa-apa. Biar mulutmu jorok, tidak apa-apa, Aku sayang kamu. Biar hatimu kotor, tidak apa-apa. Aku menebus kamu, Aku mengasihi kamu. Tidak apa-apa, darah Yesus sudah ditumpahkan untuk kamu. Tetap najis, tidak apa-apa.” Kita dibenarkan bukan berarti sudah berkeadaan benar; melainkan kita dianggap benar, walaupun belum benar. Luar biasa Allah kita. Tetapi, Bapa tidak menghendaki kita terus tetap dalam keadaan yang tidak benar. Makanya harus didewasakan.
Ibrani 12 mengatakan bahwa orang tua di dunia ini mendidik anaknya sesuai dengan apa yang dia pandang baik; Bapa di surga mendidik anak-anak-Nya supaya mengambil bagian dalam kekudusan-Nya. Kematian Yesus di kayu salib membuat manusia bisa dibawa kepada Bapa, dibenarkan, dan Bapa bisa mendidik. Itu dinikmati oleh Allah. Persoalannya, kita sudah dinikmati Allah, belum? Jangan hanya mendengarkan Firman, lalu setelahnya, kita kembali kepada irama hidup yang lama. Hal ini mendukakan hati Tuhan. Harus ada kerinduan hidup kita dinikmati oleh Allah, sejak di dunia.
Sebab kalau sejak di dunia kita tidak bisa dinikmati oleh Allah, tidak mungkin kita masuk ke dalam Rumah Bapa. Maka kita harus mau dididik, diubah agar kita memiliki karakter kristiani. Jangan menunda. Penundaan demi penundaan yang dilakukan seseorang, itu akan menjadi penolakan; reject. Manusia yang mulia adalah manusia yang dimiliki Allah. Orang yang dimiliki Allah adalah orang yang mengerti dan melakukan kehendak Allah, dan memenuhi rencana-Nya. Kita tidak bisa memiliki Allah tanpa mengerti kehendak-Nya, melakukan kehendak-Nya, dan memenuhi rencana-rencana-Nya dalam hidup kita.
Dia Majikan, Dia Agung, Dia Tuhan yang memiliki kita, membeli kita dengan harga yang lunas dibayar. Berurusanlah dengan Allah yang tidak kelihatan. Seriuslah, jangan sampai kita menjadi makin keras hati, serupa dengan dunia, dan tidak bisa diubah lagi. Apalagi kalau kita merasa kuat, sehat, punya relasi pejabat, uang banyak. Kalau bisa, dia “meludahi” Tuhan. Memang tidak secara harfiah meludahi Tuhan, tetapi sikap hidupnya tidak menghormati Allah. Jangan kita menginjak-injak darah Tuhan Yesus yang begitu mahal dengan kehidupan kita yang tidak dapat dinikmati oleh Allah. Sebab, kita hanya menikmati diri sendiri.
Kalau sejak di dunia kita tidak bisa dinikmati oleh Allah, tidak mungkin kita masuk ke dalam Rumah Bapa.