Saudaraku,
Pada umumnya kita semua sudah tahu betapa besar peran perkataan atau ucapan dalam kehidupan. Banyak buku yang ditulis dan khotbah yang disampaikan mengenai hal ini. Faktanya, mari kita jujur, tidak banyak pengaruh nasihat dan buku yang ditulis mengenai lidah tersebut. Tidak banyak orang berubah bisa berucap dengan bijaksana walau sudah membaca buku dan mendengarkan khotbah mengenai penggunaan lidah. Seakan-akan mereka tidak pernah mengerti bahwa lidah berperan besar sepertai kemudi kecil di kapal besar dan lidah bisa berbahaya seperti api. Jelas sekali Alkitab mengatakan bahwa lidah bisa merupakan dunia kejahatan di antara anggota tubuh yang sukar dijinakkan (Yak. 3:4-8).
Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabnya adalah karena menganggap sepele hal penggunaan lidah sehingga seseorang tidak pernah berhasil menguasainya. Oleh sebab itu, satu hal yang harus diperhatikan untuk bisa berucap bijak adalah memperlakukan lidah sebagai bagian hidup yang bisa sangat berbahaya dan merusak atau menghancurkan. Bisa berbahaya bukan berarti jahat, hal itu tergantung bagaimana mengelolanya. Sama seperti api bisa menjadi sarana untuk mendatangkan bencana, tetapi juga bisa mendatangkan keuntungan atau kebaikan. Oleh karena besarnya peranan lidah dalam kehidupan manusia, maka penggunaan lidah harus dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan (Mat. 12:36).
Mengapa Alkitab secara khusus memberi perhatian kepada lidah? Mengapa bukan bagian tubuh yang lain? Sebab lidah bisa sangat berbahaya kalau tidak dikelola dengan baik. Dengan memahami hal ini, kita harus menganggap lidah sebagai suatu ancaman yang membahayakan kalau tidak dikelola dengan baik. Dalam kitab Yakobus 3 dikatakan bahwa binatang buas bisa dijinakkan, tetapi lidah tidak mudah. Ini memberi suatu pesan agar kita menjinakkan lidah. Persoalannya adalah dengan cara bagaimana kita bisa menjinakkan lidah? Tentu dengan membiasakan diri tidak mengucapkan kata-kata yang tidak membawa dampak positif bagi orang lain. Dalam hal ini perkataan seperti sebuah peluru yang ditembakkan. Kita harus cakap menggunakan senapan tersebut, yaitu lidah kita. Kapan menarik picu dan dengan peluru apa.
Kita harus mulai belajar mengendalikan lidah dengan memperhitungkan setiap perkataan yang kita ucapkan. Mengucapkan perkataan seperti membelanjakan uang. Uang bisa habis bila dibelanjakan, berbeda dengan perkataan yang memiliki persediaan tanba batas selama hidup di dunia ini. Justru dengan tanpa batas ini lebih berbahaya, sebab kalau seseorang tidak mampu menjinakkannya, maka ucapan akan mendatangkan bencana kepada banyak pihak.
Sebenarnya lidah hanya sarana saja, bukan pelaku utama. Ada “tokoh intelektual” di balik lidah. Tokoh itu adalah pikiran, perasaan dan kehendak yang menggerakkannya. Kalau ada orang berkata tentang mulut yang manis dan fasih lidah, sejatinya yang manis bukan mulutnya dan yang fasih bukan lidahnya, melainkan “sesuatu” yang menggerakkan lidah tersebut. Jadi, kalau seseorang mau berucap bijak, yang harus dikelola bukan hanya lidahnya secara langsung—sebab lidah hanya robot—namun yang harus dikontrolnya adalah hati atau jiwanya.
Jadi, sangatlah bodoh kalau seseorang hendak memiliki ucapan yang bijaksana hanya berusaha mengendalikan lidah. Lidah memang harus dikendalikan. Kita harus terus menerus berada dalam kesadaran bahwa lidah bisa berbahaya, dalam penggunaannya harus “super hati-hati.” Tetapi mengendalikan lidah dengan prinsip ini belumlah cukup. Kalau seseorang tidak memiliki hati yang bijaksana, pasti lidahnya juga akan digunakan secara salah sehingga tidak berucap bijak; sebaliknya kalau seseorang bijaksana, maka lidahnya pun akan berucap bijaksana.
Teriring salam dan doa,
Assct. Prof. Dr. Erastus Sabdono
Kalau seseorang mau berucap bijak, yang harus dikelola bukan hanya lidahnya secara langsung sebab lidah hanya robot— namun yang harus dikontrolnya adalah hati atau jiwanya.