Skip to content

Berubah

Saudaraku,

Kita harus berani memosisikan diri kita, apakah kita mau sungguh-sungguh sepenuh hati untuk Tuhan, segenap hati untuk surga atau tidak sama sekali. Kita seringkali berpikir bahwa sikap ekstrem itu berlebihan dan tidak patut atau tidak perlu atau belum perlu kita lakukan. Padahal jelas sekali Alkitab berkata, “kamu tidak dapat mengabdi kepada dua tuan” (Mat. 6:24). Jelas sekali Alkitab menunjukkan kepada kita dari apa yang Tuhan katakan bahwa kita harus mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, dan kekuatan. Sejujurnya, walaupun kita menjadi jemaat yang rajin ke gereja, aktivis gereja yang tekun atau sudah menjadi pendeta yang berprestasi dalam pelayanan, tetapi hati kita sebenarnya belum utuh untuk Tuhan. Karena kita menganggap kalau terlalu ekstrem itu berlebihan itu tidak patut, belum perlu atau tidak perlu.

Tuhan mengasihi kita melalui persoalan-persoalan yang menghimpit hidup kita; yang pada akhirnya kita digiring Tuhan pada posisi yang paling tepat di mana kita berkomitmen untuk segenap hati mengasihi Tuhan, kita bertekad untuk benar-benar mengasihi Tuhan dengan hidup kudus tidak bercacat dan tidak bercela. Walaupun tentu itu harus berproses dan memang tidak mudah. Oleh kasih Tuhan, Tuhan mengizinkan kita mengalami banyak goncangan dan tekanan yang membuat kita akhirnya memilih pulang. Dan memang inilah tujuan hidup kita, terminal akhir kita. Ini bukan berarti lalu kita mengabaikan tanggung jawab; selama kita masih di dunia, kita harus memenuhi kewajiban dan tanggung jawab. Kita masih ada di tengah-tengah masyarakat, jemaat Tuhan; di mana kita harus berkarya semaksimal mungkin. 

Apa yang belum kita selesaikan harus kita harus selesaikan, apa yang belum kita persembahkan untuk Tuhan harus kita persembahkan. Tetapi posisi (positioning) kita harus jelas; yaitu kita mau dengan segenap hati mengasihi Tuhan, melepaskan semua keinginan, hobi-hobi, dan segala kegiatan yang tidak menguntungkan bagi Kerajaan Surga. Di sini kita harus berani seekstrem-ekstremnya, sefanatik-fanatiknya. Ini tidak membuat Saudara menjadi aneh; kita tetap hidup di dalam “kewajaran hidup” seperti manusia lain; tetapi motivasi kita menjalani hidup itu berbeda. Kalau kita tidak segera mengambil keputusan, bertekad, berjanji, berkomitmen, maka kita tidak akan pernah memiliki kehidupan yang unggul, yang agung. 

Apalagi kalau kita sudah cukup umur, sudah tua; kita bisa kehilangan kesempatan untuk menjadi anak kesukaan Bapa. Jangan berpikir karena kita adalah seorang pendeta, teolog, dosen, gembala sidang, atau pun ketua sinode, lalu kita dengan mudah melakukannya. Tidak mudah. Kita harus berjuang dan sering merasa jatuh bangun. Maka tidak heran jika kita merasa tidak kunjung mencapai apa yang kita pahami sebagai kebenaran dan kesucian yang sesungguhnya itu? Kenapa tidak sampai-sampai? Kadang-kadang bisa ada keputusasaan di dasar hati kecil kita. Tetapi, kita jangan berhenti. Kalau kita mencoba atau berniat untuk berhenti; kita nanti dicambuk Tuhan dengan persoalan. Kita didorong Tuhan melalui kesesakan-kesesakan hidup—dan itu lebih sakit—maka lebih baik kita tidak mengalami itu. Namun demikian kita pun mengerti bahwa kalau tidak ada persoalan-persoalan berat kita tidak akan memindahkan hati kita di surga. Karena kita bisa menikmati hidup di dunia ini dengan kedudukan, posisi, kehormatan, nama besar, popularitas atau apa pun yang bisa kita nikmati dan terasa “nyaman” di hati ini. 

Dan itu benar-benar menyesatkan pikiran dan diri kita. Dari apa yang kita ucapkan, kita lakukan dan kita pikirkan, kita masih bisa meleset. Tetapi pada kesempatan ini, Firman Tuhan telah mengingatkan kepada kita semua. Maka, ayo kita bangkit. Mari kita berubah. Kita yang harus mengajak—memaksa—diri kita sendiri untuk berubah. Hanya Tuhan yang bisa menolong kita. Kalau persoalan-persoalan keuangan, masalah-masalah fana kita usahakan atau Tuhan juga bisa tolong kita, tetapi yang sulit adalah mengubah watak dan karakter kita; yang mana Tuhan pun tidak bisa mengubahnya kita kalau kita tidak berubah. Kita sering keras kepala dan tidak mau berubah. Dan Tuhan juga tidak memaksa kita berubah kalau kita tidak mau berubah.  

Teriting salam dan doa,

Erastus Sabdono

Tuhan tidak memaksa kita berubah kalau kita tidak mau berubah.