Jika kita mau memperhatikan hidup kita dengan teliti, dengan kerinduan hati kepada Tuhan, maka kita akan dapat melihat betapa Tuhan sangat memperhatikan kita dalam segala hal. Dari hal-hal yang mungkin kita pandang sepele, kita anggap sederhana, namun ternyata Allah turut memperhatikan. Sebab jika tidak, bahaya keadaan kita. Yang kedua, kita tidak dapat masuk ke dalam proses untuk bertumbuh dewasa. Misalnya, waktu kita berkendara lalu ada orang yang berlambat-lambat berhenti di depan kita untuk menurunkan penumpang, seakan-akan ia yang memiliki jalan itu. Dengan santai dia juga menurunkan barang, sambil mengobrol dengan orang di sebelahnya. Rasanya kita mau marah karena kesal. Namun, ternyata keterlambatan itu justru menyelamatkan kita. Karena ternyata di depan kita ada satu truk yang remnya blong. Seandainya kita tidak dihambat oleh orang di depan kita itu, maka kita bisa saja mengalami kecelakaan. Ini contoh yang sederhana. Masih banyak hal lain yang Tuhan lakukan di luar pengetahuan kita.
Bapa di surga mengendalikan segala sesuatu untuk melindungi kita. Jadi, mestinya tidak ada sesuatu hal apa pun yang membuat kita beralasan untuk berkeluh-kesah, bersungut-sungut, dan mempersalahkan orang lain. Itulah hal yang selama ini sering dilakukan oleh banyak orang. Mari kita sadar dan menerima bahwa Bapa mengizinkan segala sesuatu terjadi untuk kebaikan kita (Rm. 8:28), dengan cara menghindarkan kita dari bahaya, dan juga Dia mendewasakan kita dalam segala hal. Di luar pengertian, di luar pengetahuan kita, di luar kecerdasan dan hikmat manusia, “Allah mengizinkan segala sesuatu terjadi agar kita menjadi dewasa.”
Oleh sebab itu, kita harus berpikir sederhana. Berpikir sederhana artinya tidak ada yang kita mau capai dalam hidup ini kecuali kita menyenangkan hati Tuhan. Memang hal Ini tidak mudah, karena irama hidup kita banyak yang sudah salah, sudah keliru selama belasan bahkan puluhan tahun. Namun, ketika kita mau belajar sungguh-sungguh hidup hanya untuk menyenangkan Tuhan, maka kita tahu bahwa “tidak ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak Allah.” Jadi, kalau kita bersungut-sungut, marah, mengomel, sejatinya secara tidak langsung kita memarahi keadaan dan memarahi Tuhan; dan itu sebenarnya adalah sikap tidak hormat, dan ironisnya, itu yang sering kita lakukan.
Pada hari ini kalau Tuhan bicara kepada kita, mengingatkan kita untuk hal ini, mari kita mau serius untuk bertobat dan kita tidak melakukannya lagi. Tentu kita perlu waktu dan juga berproses, tetapi jangan lama-lama. Tuhan teliti dalam segala hal untuk menghindarkan kita dari kerugian, kecelakaan, malapetaka dan sekaligus mendewasakan kita. Untuk bisa menerima hal ini, maka cara berpikir kita harus teosentris; harus berpusat pada Allah saja, bukan berpusat pada diri sendiri. Kalau kita masih berpusat pada diri sendiri, pasti kita tidak mau mengerti mengapa hal ini terjadi. Kita akan marah, bersungut-sungut, mengomel, kesal, dan itu merusak jiwa kita.
Kita harus teosentris dengan satu pernyataan, “Biar kehendak-Mu yang jadi, Bapa. Jadilah seturut apa yang Kau ingini. Walau aku tidak tahu mengapa terjadi hal ini, tetapi aku percaya dan belajar menerima.” Itu teosentris dan memang hal itu tidak mudah kita jalani. Orang yang teosentris, cepat atau lambat dia bisa mulai mengenali antara manusia lama dan manusia baru. Jangan kita anggap ini perkara sederhana. Menemukan manusia baru dan mengenali manusia lama, tidak mudah. Karena kita sudah lama hidup dengan “si aku” kita, sehingga kita tidak bisa membedakan mana manusia baru kita yang berkenan di hadapan Allah, yang menyenangkan hati Allah, dan manusia lama kita yang pasti masih egosentris.
Manusia baru pasti teosentris; berpusat pada Allah. Kalau kita belajar untuk berpusat pada Allah, maka prinsip hidup kita adalah: “Kehendak-Mulah yang jadi, Bapa. Walau aku tidak tahu, aku percaya, aku menerima.” Hal ini memang sulit, maka kita harus belajar terus. Jangan banyak bicara. Diam, merenung, diam, merenung, sampai kita bisa membedakan antara manusia lama dan manusia baru kita. Banyak orang yang sampai hari tuanya, manusia lamanya tetap begitu kuat dan dia tidak pernah menjadi anak-anak Allah. Karena manusia barunya tidak pernah muncul atau terlahir. Hal Ini sebenarnya sangat mengerikan. “Allah bekerja dalam segala hal mendatangkan kebaikan,” artinya bukan hanya menjauhkan kita dari bencana, malapetaka, melainkan juga menjadikan kita serupa dengan Yesus (Rm. 8:29). Ayat sebelumnya, Roma 8:28 mengatakan, “Allah bekerja dalam segala hal mendatangkan kebaikan.” Ayat 29, “Kebaikannya itu adalah serupa dengan Yesus.” Itulah manusia baru yang dimaksud oleh Alkitab.
Berpikir sederhana artinya tidak ada yang kita mau capai dalam hidup ini kecuali menyenangkan hati Tuhan.