Skip to content

Berpikir Dewasa

 

Berpikir dewasa artinya memandang Tuhan dan mengusahakan bagaimana kita membalas kebaikan Tuhan dan meresponi kasih Tuhan. Bukan hanya mengumandangkan kasih-Nya, mengucap syukur, mengelu-elukan Yesus yang lahir di kota Betlehem, mengagung-agungkan kebaikan Allah. Sudah tentu itu tidak salah. Tetapi ada satu langkah lagi yang mestinya kita lakukan sebagai orang percaya—yang mestinya harus akil balik, harus dewasa—yaitu meneruskan kasih kepada sesama dengan kasih seperti yang Allah berikan kepada dunia ini. Ini tidak berlebihan, sebab mengasihi sesama bukan hanya dikenal oleh orang-orang Kristen. Agama-agama di dunia juga mengajarkan kasih, belas kasihan, kebaikan dan kemurahan terhadap sesama. 

Apakah kekristenan hanya memiliki kasih seperti itu? Jika hanya demikian, maka tidak perlu Yesus datang ke dunia. Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan kita, artinya Allah mau mengembalikan kita menjadi model manusia seperti yang Dia inginkan, model manusia sesuai yang Allah inginkan. Dengan kualitas emosi, perasaan yang di dalamnya juga kasih, sesuai dengan standar manusia yang dikembalikan ke rancangan Allah semula tersebut. Kiranya ini bukan hanya menjadi pengetahuan yang ada di dalam pikiran kita sehingga kita berfantasi teologi, berfantasi ajaran. Namun, kita benar-benar mengalami apa artinya menjadi manusia yang dibarui, di mana semakin hari kita semakin menjadi manusia sesuai dengan rancangan Allah semula tersebut dan kita memiliki gerak emosi, gerak perasaan dan seluruh tindakan sesuai dengan standar manusia baru, sesuai dengan standar manusia yang dirancang Allah tersebut. 

Jadi jangan kita merasa bahwa kekristenan kita sudah selesai sampai di sini. Kita harus menjadi Kristen yang benar-benar memperagakan kehidupan anak-anak Allah dengan seluruh geraknya, gerak hidup anak-anak Allah sesuai dengan standar manusia rancangan Allah semula. Sebagai orang-orang yang dipilih oleh Allah menjadi umat pilihan, kita telah ditentukan standarnya (Ef. 1:4-5). Hal ini bukan sekadar sebutan kosong, melainkan mengandung gelar anak-anak Allah dengan sifat-sifat yang harus dipenuhi sebagai anak-anak Allah. Maka, jika kita benar-benar menyandang gelar sebagai anak-anak Allah dan memenuhi sifat anak-anak Allah di dalam hidup kita, pasti gerak hidup kita adalah gerak hidup anak-anak Allah. Dan itulah yang memuaskan hati Allah. 

Jadi kalau Alkitab mengatakan berulang-ulang Yesus menjadi yang sulung, secara implisit atau di balik kalimat tersebut ada tuntutan bahwa kita harus mengikuti jejak-Nya, jejak Anak Allah. Seperti Yesus menyandang gelar Anak Allah dan layak menyandang gelar itu dengan mengenakan sifat-sifat Anak Allah yang ada di dalam-Nya, kita juga menyandang gelar anak-anak Allah, layak menyandang gelar itu dengan sifat-sifatnya, dan salah satu sifatnya adalah mengasihi sesama. Kalau kita mengenakan sifat yang sama, maka kita juga akan memandang orang dan tidak menginginkan seorang pun binasa. Tidak cukup kita mengumandangkan kasih Allah, tetapi kita juga harus memiliki tindakan kasih yang nyata.

Seperti kasih Allah kepada manusia, demikian pula kita meneruskan kasih ini kepada sesama. Dan Allah sungguh menghendaki ini berlaku di dalam hidup kita. Sejujurnya, sering kali kita tidak memenuhi hal ini dengan baik. Sebab banyak orang yang fokusnya pada diri sendiri, bukan kepada orang lain. Jadi kita tidak heran kalau ada orang Kristen lebih bengis dari orang non-Kristen; lebih tidak berbelas kasihan terhadap sesama dibanding orang-orang non-Kristen. Bagaimana dengan kita? Kasih yang kita miliki mestinya lebih dari itu, kasih Allah yang ditaruh di dalam diri kita. “Seperti Bapa mengutus Aku,” kata Tuhan Yesus. “Aku mengutus kamu.” Bukankah ini sama dengan, “Seperti Aku menerima mandat dari Bapa untuk mengasihi kamu, maka dengan kasih yang sama, kamu teruskan ini untuk orang lain.” Dan itu satu hal yang pasti memuaskan hati Bapa di surga. 

Jangan sampai waktu menutup mata, kita tidak pernah menjadi wadah atau bejana di mana Allah menyalurkan kasih-Nya. Allah menghendaki agar pikiran dan perasaan Allah diperagakan di dalam pikiran dan perasaan kita. Tuhan mencari wadah di mana perasaan dan pikiran Allah bisa diperagakan. Coba kita hayati betapa hebat kalau manusia menjadi bait Allah yang di dalamnya ada Roh Allah. Allah menggerakkan hidup kita. Betapa hebat itu! Tetapi, betapa sulitnya menjadikan tubuh kita bait Allah. Karena sejujurnya, siapa yang mengendalikan tubuh kita? Siapa yang mengendalikan perasaan kita? Tuhan atau kita? Kalau kita menjadi orang Kristen yang dewasa, Kristen yang menyadari bahwa kita telah dibeli dengan harga yang lunas dibayar, berarti kita tidak berhak atas diri kita.