Skip to content

Berkejaran dengan Waktu

Dalam Yeremia 18:1-6, Tuhan sedang mengumpamakan diri-Nya sebagai seorang tukang periuk dan kita sebagai tanah liat. Tanah liat itu berharga. Betul, selama masih bisa dibentuk menjadi bejana. Tetapi kalau tanah liat sudah mengeras, tidak akan bisa jadi apa-apa, sudah tidak terbentuk lagi, sama sekali tidak berguna. Seperti adukan semen. Kalau masih basah, gampang diukir, tetapi kalau sudah kering, tidak bisa diukir. Kalau masih basah, pakai tangan juga bisa, tetapi kalau sudah kering, pakai besi juga belum tentu mudah. Jadi, ini penting. Maka, jangan menunda. Selagi masih punya kesempatan berubah, kita harus berubah. Kita sedang berkejar-kejaran dengan waktu. Jangan sampai waktu kita tersita oleh ambisi, keinginan-keinginan untuk memiliki hal-hal duniawi atau memuaskan nafsu-nafsu daging kita. 

Ibrani 12:16, “Janganlah ada orang yang menjadi cabul …” Cabul di sini tidak harus cabul seks secara fisik. Cabul di sini bisa berarti percintaan dunia. “… atau yang mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau, yang menjual hak kesulungannya untuk sepiring makanan. Sebab kamu tahu, bahwa kemudian, ketika ia hendak menerima berkat itu, ia ditolak, sebab ia tidak beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, …” Esau tidak mendapat kesempatan lagi, karena dia tidak jauh-jauh hari belajar menjadi anak yang dengar-dengaran bagi orang tuanya, sehingga ia menjadi rusak, dia memandang rendah hak kesulungannya dan menukarnya dengan semangkuk makanan. 

Dosa itu harus dilihat dari dua perspektif, dua dimensi. Satu, dosa dalam bentuk perbuatan atau perilaku atau sudah merupakan ekspresi dari kodrat dosanya, sudah menjadi buah, menjadi perbuatan. Dua, dosa yang merupakan kodrat atau potensi. Banyak orang hanya menyelesaikan sampai dimensi pertama saja, tetapi kodrat dosanya tidak diselesaikan. Kalau kita minta ampun atas perbuatan dosa kita, kita juga harus melihat dan mengakui betapa buruknya keadaan kita ini. Jadi, setiap kali kita minta ampun atas perbuatan dosa, sekaligus kita berkomitmen untuk tidak mengulangi dosa itu dengan cara membunuh kodrat dosa ini. Dengan cara apa? Firman kebenaran. Dengan Firman yang kita dengar, mengubah cara berpikir, mengubah paradigma kita, dan itu memerdekakan kita. 

Oleh sebab itu, di dalam Roma 1:16 dikatakan, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan …” Dalam Yohanes 8:31-32, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Tentu di situ juga ada proses di mana seseorang mematikan kodrat dosa. Kalau kita memiliki kodrat, misalnya temperamental, mudah marah, maka ketika kita melakukan kesalahan, kita mengakui dosa itu, kodrat dosa kita pun harus diakui, lalu berusaha untuk waspada agar tidak terulang perbuatan dosa yang sama.   

Jadi, kita bukan hanya meratapi perbuatan dosa yang sudah kita lakukan, melainkan juga meratapi potensi dosa yang masih ada pada kita, dan kita pasti sadar. Tidak mungkin tidak sadar. Mengubah kodrat dosa sama juga dengan hidup suci, sempurna seperti Bapa, serupa dengan Yesus. Jangan tunda untuk mencapai level ini. Maka, sering kita ini harus bercermin pada Tuhan. Jangan bercermin pada manusia. Kalau bercermin pada manusia, kita bisa merasa lebih baik dari mereka. Tetapi kalau kita bercermin kepada Tuhan, kita bisa melihat bahwa kita belum seperti yang Allah kehendaki dan belum menyelesaikan tugas yang Allah titipkan.

Yohanes 9:4, “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja.” Jangan menunda. Hari ini kita selesaikan apa yang menjadi tanggung jawab kita. Jangan sampai kita meninggal dunia, kodrat kita belum berubah. Jangan sampai meninggal dunia jalannya masih belum lurus. Ayo kita mengubah kodrat, karena perubahan kodrat itu lewat proses. Yang membuat rusak kekristenan itu ketika diajarkan kelahiran baru itu kejadian yang adikodrati, spektakuler, di luar kesadaran orang tersebut. 

Semua juga perlu proses, apalagi kalau diajarkan ajaran yang mengatakan, “Allah menentukan orang-orang tertentu yang selamat dan yang lain tidak jelas nasibnya.” Tidak ada tanggung jawab. Harus ada implikasi konkret dalam hidup mengenai kebenaran-kebenaran tersebut. Ada panggilan yang harus dipenuhi. Kita adalah manusia yang bisa salah, dan kita juga sudah pernah salah. Ke depan jangan berbuat salah lagi. Ayo, kita berubah; kita bertobat. Ingat, penundaan bisa membinasakan. 

Kita sedang berkejar-kejaran dengan waktuJangan sampai waktu kita tersita oleh ambisi, keinginan-keinginan untuk memiliki hal-hal duniawi atau memuaskan nafsu-nafsu daging kita.