Skip to content

Berjuang Agar Tidak Terbawa Dunia

Jika kita mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dewasa ini, pasti kita menemukan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia, dalam budaya, sosial, interaksi antarmanusia, bukan bertambah menjadi baik. Misalnya dulu kita mengenal prinsip gotong royong, dan itu menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia. Tetapi, apakah filosofi gotong royong masih seperti 50 tahun yang lalu? Faktanya, kita melihat manusia menjadi semakin egois (mementingkan diri sendiri). 

Jangankan mendukung, bukan gotong royong, tetapi justru merongrong. Bagaimana dirinya untung, senang, dan tidak memperhitungkan kerugian orang lain. Kalau dulu ada filsafat mengalah, “wes, mengalah saja.” Tetapi sekarang prinsipnya “Sebelum dia menerkam aku, aku terkam dulu. Sebelum dia mencakar aku, aku cakar dulu.” Kita melihat dunia demikian jahatnya dan sebenarnya semua ini sudah dinubuatkan oleh Alkitab. Dalam 2 Timotius 3:1-5, “Manusia akan mencintai dirinya sendiri.” Manusia menjadi egois. Dari kecil saja, anak-anak sudah terbiasa dengan atmosfer egois. 

Kalau di luar negeri, kita kenal istilah “individualis;” orang tidak mau mengurusi orang lain, mengurusi dirinya sendiri. Khususnya di Barat, orang menghargai privasi; hal yang bersifat pribadi dalam hidup orang. Kita tidak boleh ikut campur. Di Indonesia, unsur individualis ini mulai muncul. “Lu, lu; gua, gua; kamu, kamu; aku, aku.” Kalau di Barat ada suasana humanis individual, yaitu menghargai hak orang lain. Tetapi di masyarakat kita sebagian, bukan hanya individual, tetapi juga mengurusi orang lain. Bukan mengurusi untuk membantu, melainkan mengurusi untuk membuat keruh dan gaduh. 

Indonesia yang dulu dikenal sebagai punya pengertian terhadap orang lain, yang orang Jawa bilang tepo seliro; mengerti orang lain, namun sekarang keadaannya jauh dari itu. Potretnya jelas, melalui media sosial. Senang mem-bully orang lain. Senang berkomentar, dan komentarnya bukan membangun, malah menjatuhkan, merusak nama baik. Inilah kenyataan di Indonesia. 

Kearifan lokal yang dulu dimiliki oleh masyarakat bangsa kita, seperti gotong royong, mengalah, tepo seliro artinya mengerti orang lain, makin pudar, makin tipis. Hal ini memang sudah dinubuatkan Alkitab, “Manusia akan mencintai dirinya sendiri, menjadi pemfitnah, memberontak kepada orang tua, tidak tahu berterima kasih, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat,” dan lain sebagainya. Jadi kita tidak heran, karena faktanya memang begitu. Tuhan Yesus juga menubuatkan di Matius 24:12, “Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.” Kejahatan bertambah-tambah, sehingga kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin atau tawar. 

Kalau kasih kebanyakan orang menjadi dingin atau menjadi tawar, maka orang menjadi egois; tidak ada kasih. Tega terhadap sesamanya. Manusia yang mestinya memiliki hukum Tuhan, tatanan Tuhan, justru menjadi memiliki hukum rimba. Hukum ada, tetapi hukum bisa ditarik ke kanan, ke kiri, seperti karet, dan akhirnya uang yang berbicara. “Maju tak gentar, membela yang bayar.” Dunia sudah begitu rusak. Dari anak-anak, kita sudah melihat atmosfer ketidakadilan itu. Atmosfer egoisme, individualisme, plus ketegaan terhadap orang lain. Ini menggarami, seperti virus. Banyak orang terpapar. Kalau virus, masuk di fisik, di tubuh. Tetapi kalau cara berpikir, filosofi, ini masuk ke dalam jiwa dari kanak-kanak. Nanti masuk remaja, pemuda, makin jadi kacau. 

Kita melihat kenyataan orang-orang menjadi egois. Inilah yang kemudian membuat banyak orang tidak menjadi dewasa. Pada waktu berpacaran, kelihatannya tidak egois. Kelihatannya sayang, cinta, ke pacarnya karena sedang hanyut dan tenggelam dalam percintaan; dibumbui dengan nafsu, libido, atau erotis sehingga orang bisa seakan-akan memedulikan orang lain. Orang bisa berkata, “Aku untukmu. Engkau dilahirkan untukku.” Tetapi ketika menikah, begitu mudah terjadi perceraian yang dimulai dengan pertikaian, keributan, sampai pada KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Biasanya, yang jadi korban adalah perempuan. Menyedihkannya, anak-anak bisa menyaksikan drama itu. Lalu anak-anak tumbuh dengan jiwa yang terluka karena melihatnya. Bayangkan anak-anak ini kalau dewasa, jadi apa? 

Konflik itu menjadi pelajaran buruk bagi anak-anak, dan generasi berikut akan makin rusak. Kita bisa mengerti mengapa Tuhan Yesus berkata di Lukas 18:8, “Jika Anak Manusia atau Yesus datang, apakah Ia mendapati iman di bumi?” Apakah Ia masih mendapati orang percaya yang memiliki standar hidup orang percaya yang benar? Standar orang percaya yang benar adalah Tuhan Yesus. Kita hidup di dunia yang begini mengerikan. Kecenderungan manusia yaitu mudah masuk ke dalam api kekal atau neraka. Kalau kita tidak sungguh-sungguh berjuang untuk menjadi serupa dengan Yesus, untuk mencapai kesucian standar Allah, maka kita juga bisa terbawa oleh dunia. 

Kalau kita tidak sungguh-sungguh berjuang untuk menjadi serupa dengan Yesus, untuk mencapai kesucian standar Allah, maka kita juga bisa terbawa oleh dunia.