Skip to content

Berjalan Harmoni dengan Allah

“Iman” berarti berpikir dan berperasaan seperti Bapa, sehingga segala sesuatu yang dipikirkan, diucapkan, dan dilakukan selalu sesuai dengan kehendak Bapa. Inilah gaya hidup yang dikenakan oleh Tuhan Yesus, yang juga harus kita miliki (Yoh. 4:34). Gaya hidup seperti ini adalah iman yang sempurna, seperti yang dimaksud dalam Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Orang yang serupa dengan dunia tidak dapat hidup dalam damai sejahtera atau hidup dalam persekutuan dengan Bapa. Kita tahu bahwa kasih karunia Allah hanya dapat diperoleh melalui iman dalam Yesus Kristus. Adapun isi kasih karunia—yaitu kondisi bisa bersekutu dengan Allah—hanya dapat dimiliki atau dialami seseorang berangkat dari korban Tuhan Yesus Kristus (Rm. 5:1). Tetapi selanjutnya, seseorang harus hidup selalu sesuai dengan kehendak Allah. Kebenaran ini harus dipahami dengan lengkap, utuh, cerdas, dan jujur atau adil. Tuhan Yesus dapat mengembalikan manusia kepada Bapa melalui diri-Nya dengan dua tatanan atau mekanisme. 

Pertama, Yesus mati di kayu salib memikul dosa dan menggantikan tempat kita (kita yang seharusnya dihukum). Hal ini meredakan kegeraman Allah dan memuaskan keadilan Allah. Hanya “manusia yang tidak berdosa”—dalam hal ini Yesus (Allah Anak yang menjadi manusia)—yang dapat menanggung dosa kesalahan manusia. Dengan kurban Yesus ini, hubungan manusia dengan Allah yang putus, dapat disambung. Manusia dilayakkan untuk dapat dikembalikan hidup dalam persekutuan dengan Allah (Theos atau Bapa). Ini adalah sebuah tatanan yang harus dipenuhi atau yang sama dengan mekanisme ilahi. Agama samawi seperti agama Yahudi, tidak bisa mengerti dan menerima mekanisme atau tatanan. Mereka berpikir, asal minta ampun dan menyembelih kurban domba, mereka sudah memperoleh pengampunan dan “jalan masuk” kepada Allah. Dalam hal ini, Tuhan Yesus tegas mengatakan bahwa tidak ada seorang pun sampai atau datang kepada Bapa kecuali melalui diri-Nya (Yoh. 14:6).

Kedua, Tuhan Yesus datang mengajarkan Injil atau kebenaran, sebab Injil atau kebenaran inilah yang memerdekakan atau menyelamatkan (Yoh. 8:31-32; Rm. 1:16-17). Tanpa memahami Injil, seseorang tidak dapat diubahkan. Injil atau kebenaran itulah yang memperbaharui pikiran atau menyucikan (Yoh. 17:17), sehingga seseorang dapat memiliki kekudusan, kesempurnaan karakter seperti Bapa, dan dapat bersekutu dengan Bapa. Dalam hal ini, Tuhan Yesus sendiri telah berjuang untuk dapat mencapai kesempurnaan tersebut. Setelah Ia mencapai kesempurnaan, Ia dapat menjadi pokok keselamatan bagi mereka yang taat (Ibr. 5:7-9). Menjadi pokok keselamatan (Yun. Aitios) artinya penggubah. Itulah sebabnya, mandat utama yang harus dipenuhi adalah “menjadi murid” bagi Yesus (Mat. 28:18-20). Menjadi murid bagi Yesus berarti belajar hidup seperti Dia hidup. Untuk ini, bagi jemaat Tuhan, Allah memberi penginjil, guru, dan gembala sidang bagi penyempurnaan karakter mereka. Semua perangkat jawatan dalam gereja harus dapat mengondisi jemaat dapat berhubungan dengan Tuhan Yesus melalui Roh Kudus, agar dapat belajar gaya hidup yang dikenakan oleh Tuhan Yesus. Itulah yang dimaksud “belajar menjadi murid Tuhan Yesus” atau “mengikut jejak-Nya.” Semua ini dapat berlangsung oleh karena Roh Kudus. Roh Kudus yang menuntun orang percaya kepada segala kebenaran (Yoh. 16:13). 

Jadi, kalau seorang Kristen tidak mengalami perubahan pikiran untuk menjadi seperti yang dikehendaki oleh Allah, ia tidak dapat mengimbangi Allah. Hal ini berakibat seseorang tidak dapat hidup dalam damai sejahtera dengan Allah. Dengan demikian, hidup dalam damai sejahtera dengan Allah bukan sesuatu yang dapat mudah terjadi atau gampang berlangsung, apalagi otomatis. Peran individu mengenakan kasih karunia (dapat bersekutu dengan Allah) sangat penting. Itulah sebabnya, proses pemuridan untuk menjadi dewasa atau sempurna seperti Bapa adalah sesuatu yang mutlak. Kesalahan banyak orang Kristen, mereka merasa sudah memiliki hidup dalam damai sejahtera dengan Allah karena korban Tuhan Yesus di kayu salib yang diyakininya dalam pikiran. Selanjutnya, mereka merasa sudah mengisi hidup dalam damai sejahtera Allah dengan sekadar beragama Kristen dan mengikuti liturgi setiap hari Minggu atau hari-hari yang lain. Kekristenan seperti ini adalah kekristenan semu, palsu, dan hanya dalam fantasi. Kualitas karakter sebagian besar mereka yang memiliki kekristenan seperti ini, tidak semakin seperti Yesus. Hal ini menutup kemungkinan untuk hidup dalam damai sejahtera dengan Allah secara benar atau yang sejati. Itulah sebabnya Firman Tuhan mengatakan bahwa orang percaya haruslah tidak serupa dengan dunia ini (Rm. 12:2). Hanya orang yang tidak serupa dengan dunia—tetapi serupa dengan Yesus—yang dapat hidup dalam damai sejahtera dengan Allah (Theos atau Bapa). Hanya orang-orang yang serupa dengan Yesus yang dapat berjalan harmoni dengan Allah dalam kemerdekaan yang sejati. 

Hanya orang-orang yang serupa dengan Yesus yang dapat berjalan harmoni dengan Allah dalam kemerdekaan yang sejati.