Skip to content

Berani Mengkhianati Diri

Seseorang yang memiliki penyerahan diri yang benar kepada Allah—tentu melalui proses—akan sampai pada kawasan atau level yaitu ia akan merasa bahwa yang tersisa dalam hidupnya hanyalah Tuhan. Pada waktu kita masih belum dewasa rohani, banyak hal yang kita miliki, termasuk Tuhan di dalamnya. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, ketika kita makin bertumbuh menikmati hadirat Tuhan, sukacita Tuhan, nilai-nilai rohani; nilai-nilai Kerajaan Surga, maka yang tersisa dalam hidup kita hanyalah Tuhan. Namun hal ini tidak bisa diajarkan dengan kata-kata, tetapi harus dialami.

Sering Tuhan membawa kita kepada keadaan-keadaan yang sulit. Tetapi keadaan itu menggiring kita untuk bisa melepaskan kebanggaan-kebanggaan, percintaan dunia, keinginan-keinginan daging, yang kemudian akhirnya bisa mengerti bahwa yang tersisa dalam hidup ini hanyalah Tuhan. Tuhan menjadi satu-satunya harta kekayaan dan kebahagiaan kita. Orang percaya yang benar pasti merasa takut kalau masih ada sesuatu yang ia merasa memiliki, dan itu menjadi kebahagiaan hidupnya. Apakah itu harta, kekayaan, kenikmatan, keagungan, apa pun. Terus terang, dulu kita bangga punya gelar. Lalu secara terselubung atau pun terang-terangan, ikut berkompetisi. Tetapi seiring berjalannya waktu, ketika kita mulai lebih mengenal kebenaran, kita mulai menghayati Kerajaan Surga, ditambah dengan goresan-goresan luka, lalu kita mulai mengarahkan diri ke surga. Inilah vitamin bagi jiwa kita.

Kita takut kalau kita masih memiliki sesuatu. Sampai akhirnya, kita bersedia kehilangan apa pun dan siapa pun, kalau itu Tuhan kehendaki. Terserah Tuhan. Ini kebalikan dari orang yang merasa takut kalau ia tidak memiliki sesuatu yang dapat membahagiakan dirinya. Sebagai orang percaya, kita bisa memiliki segala sesuatu—gelar, pangkat, harta—tetapi kalau kita bertumbuh secara benar, kita bisa tidak merasa memilikinya. Kalau kita merasa memilikinya, berarti kita menolak hidup sebagai anak tebusan. Sebab sebagai anak tebusan yang ditebus oleh darah Yesus, artinya kita tidak memiliki diri kita sendiri. Segala sesuatu yang kita miliki menjadi milik Tuhan. Itu adalah konsekuensi menjadi anak tebusan. 

Seharusnya di akhir pengembaraan hidup kita, setelah mengarungi perjalanan panjang, kita sampai pada kawasan ini. Bahwa yang tersisa dalam hidup ini hanyalah Tuhan. Tuhan menjadi satu-satunya harta kekayaan dan kebahagiaan. Kalau tidak begini, berarti kita mengkhianati Tuhan. Oleh sebab itu, kita harus berani mengkhianati diri kita sendiri untuk bisa membahagiakan Tuhan. Bagaimana ini bisa terjadi? Kita harus belajar kebenaran dan jujur terhadap keadaan hidup kita. Apakah masih ada yang menjadi kebahagiaan hidup? Bagi yang sering melihat penderitaan dan tragisnya hidup, hal itu memicu kita untuk memindahkan hati kita di langit baru bumi baru. Kita tidak bisa menikmati kebahagiaan di tengah-tengah dunia yang hancur ini. Selain itu, kita tidak bisa bahagia sementara orang di sekitar kita hidup di dalam penderitaan, terlebih lagi banyak orang yang hidup di bawah bayang-bayang maut menuju kegelapan abadi. 

Pada akhirnya kita menyadari, semua yang dunia tawarkan, semu. Namun, jika seseorang tidak pernah sampai pada kawasan ini—bahwa akhirnya hanya Tuhan yang tersisa dalam hidup kita—berarti kita masih ada dalam belenggu dunia dan kita memiliki kekristenan yang salah; kekristenan yang palsu. Kekristenan yang palsu tidak membawa kita sampai pada tingkat penyerahan ini. Kalau kita tidak mau sampai pada tingkat penyerahan ini, tidak mungkin kita dapat menghormati dan mengasihi Allah dengan benar. Tidak mungkin kita dapat mengabdi kepada Allah secara utuh dan memiliki kerinduan bertemu muka dengan muka dengan Tuhan Yesus. Kita tidak sanggup menghayati dunia ini bukan rumah kita dan tidak akan merindukan pulang ke surga.

Kalau dulu orang Kristen menghadapi aniaya, hal itu karena memang Tuhan mau mereka bersih. Yang mereka hadapi adalah aniaya kekaisaran Roma dan agama Yahudi. Tetapi itu membersihkan orang Kristen dari anasir kekafiran. Sekarang kita tidak menghadapi aniaya fisik, sebaliknya kita malah bisa rileks. Dan ini merupakan bahaya yang lebih besar. Apa? Percintaan dunia. Keinginan daging yang tidak disalibkan. Maka Alkitab katakan, orang kaya sukar masuk surga. 

Sampai pada tahap penyerahan diri yang dewasa, kita tidak akan menuntut apa-apa dari Tuhan. Sampai kita tidak memiliki keberanian untuk meminta sesuatu, atau mengajukan suatu keinginan. Tetapi hanya berusaha untuk mengerti kehendak Allah dan melakukan kehendak-Nya. Satu-satunya yang kita miliki sebagai kekuatan adalah bahwa kita memiliki Allah yang benar, dan nanti kita akan masuk istana Bapa di surga. Maka kerinduan kita di dunia ini hanyalah bagaimana kita menjadi anak-anak Allah yang berkenan, mempelai yang layak, perawan suci di hadapan Tuhan. Sehingga layak dimuliakan bersama-sama dengan Yesus, yang karenanya dapat melayani Allah Bapa, Elohim Yahweh di kekekalan nanti.

Kita harus berani mengkhianati diri kita sendiri untuk bisa membahagiakan Tuhan.