Skip to content

Berani Mengambil Risiko

Kita tidak menemukan sesuatu yang berharga dalam hidup ini, kecuali kita berani mengambil risiko memercayai kehidupan yang akan datang di langit baru bumi baru, dan mengarahkan diri sepenuhnya kepada kehidupan yang akan datang itu. Tidak ada gairah yang berarti di dalam hidup ini kalau kita hanya bermain di area yang kecil. Jika demikian, kita tetap ada di dalam “kemiskinan” dan menyia-nyiakan potensi yang luar biasa yang ada pada kita. Sejatinya, kita memiliki potensi yang luar biasa untuk membangun hidup di dalam kekekalan. Tetapi kalau area berpikir kita hanya kepada area kecil atau sempit, bermain untuk hal-hal yang kecil, maka kita tidak memiliki gairah yang berarti. Namun, inilah yang dilakukan hampir semua manusia, termasuk hampir semua orang Kristen. Tapi banyak orang tidak menyadari karena konsep kemiskinan maupun konsep kekayaan yang dipahami oleh orang pada umumnya adalah hal-hal bendani atau hal-hal duniawi. Faktanya, tidak banyak orang yang mengarahkan diri pada kehidupan yang akan datang karena memang tidak berani memercayai hal itu sebagai realita yang pasti segera kita masuki, dan masih mencintai dunia.

Hal ini berisiko, karena kita tidak boleh terikat dengan dunia. Seseorang baru menemukan gairah yang bernilai, seiring, atau seimbang dengan potensi yang ada pada manusia. Karena manusia makhluk kekal, gairahnya harus gairah yang berarti, bukan pada perkara kecil. Sangat disayangkan kalau manusia sebagai makhluk kekal hanya mengarahkan diri kepada hal-hal fana. Sesungguhnya, satu hal yang paling mendesak dalam hidup kita ini adalah apakah kita ini memiliki area beraktivitas hidup di bumi atau sudah benar-benar memfokuskan pada kehidupan yang akan datang? Dalam Kolose 3:1-3 dikatakan, “Carilah perkara yang di atas, bukan di bumi. Pikirkan perkara yang di atas, bukan di bumi.” Tuhan Yesus berkata di Matius 6:19-20, “kumpulkan harta di sorga, bukan di bumi.” Sejatinya, ini masalah yang bukan saja sangat penting, tetapi juga mendesak dan harus dipandang selalu mendesak. Kalau bisa, ini adalah satu-satunya masalah hidup kita. Yang lain, itu bisa relatif. Tinggal di rumah besar atau rumah kecil; rumah pribadi atau rumah kontrak, itu relatif. Tidur di atas kasur empuk atau di atas dipan atau kayu keras, itu relatif. Makan makanan yang mahal atau yang tidak mewah, yang penting bukan makanannya, tapi sehatnya dan nikmatnya. Jadi, relatif.

Tetapi, masalah kekekalan tidak relatif. Manusia dalam kebodohannya mengutamakan yang relatif, tetapi tidak mengutamakan yang mutlak. Yang mutlak itu perkara-perkara di atas itu. Kenapa dikatakan mendesak? Karena, kalau aktivitas kita terus-menerus terfokus pada masalah-masalah fana dunia ini, kita tidak akan mampu mengangkat kepala melihat perkara-perkara yang di atas. Banyak orang tidak memandang ini sebagai hal yang mendesak, dan memang kuasa gelap akan bermanuver menghujani seseorang dengan berbagai kesenangan, kesibukan, cita-cita, obsesi, dan passion-passion yang lain atau gairah-gairah yang lain. Puncaknya, ketika orang Kristen berpikir surga tidak perlu dipikirkan sekarang, bisa ditunda nanti. Biasanya hal ini terkait dengan pengajaran atau doktrin yang memang tidak mengajarkan bahwa keselamatan itu harus direspons secara bertanggung jawab. Banyak orang berpikir bahwa selalu masih ada kesempatan, sehingga masih bisa ditunda untuk mengutamakan Allah. Padahal, Alkitab jelas memperingati kita lewat kasus Esau yang tidak mempunyai kesempatan lagi memperoleh hak kesulungannya, walaupun dengan air mata. Yang membuat banyak orang Kristen tertipu adalah ketika ia merasa bahwa mereka tidak bermaksud mengkhianati Tuhan dan tidak mengingini masuk neraka, dan itu sudah dianggap sebagai kontribusi yang berarti di mata Allah. Ini tentu keliru.

Tidak ada orang yang sengaja bermaksud masuk neraka dan tidak ada juga orang beragama yang bermaksud mengkhianati Tuhan. Tapi ketika seseorang menunda langkah yang seharusnya dilakukannya sekarang—yaitu memproyeksikan diri pada kehidupan yang akan datang (langit baru bumi baru)—maka ia tidak akan memiliki gairah itu. Ia akan tiba pada suatu titik dimana ia pasti tidak mampu memiliki gairah itu. Gairah yang bernilai, yang mestinya seimbang dengan potensi yang manusia miliki, tidak dimiliki. Dalam waktu yang lama, gairah itu tidak dapat tumbuh lagi. Maka, kita tidak boleh menunda apa yang seharusnya kita lakukan. Masalahnya, banyak orang Kristen merasa bahwa Tuhan memaklumi, menolerir keadaan mereka yang seperti itu. Sebab, kehidupan di bumi ini saja sudah berat dijalani—masalah keuangan, sakit-penyakit, rumah tangga, apalagi yang didera dengan berbagai persoalan hidup—itu sudah membuat tenggelam, maka bagaimana bisa masih harus memikirkan surga, hidup berkenan kepada Tuhan, kesucian Tuhan. Oleh karenanya, gairah memikirkan kehidupan yang akan datang dianggap tidak bisa dijangkau atau tidak perlu lagi. Sejatinya, ini bukanlah alasan yang dapat kita ajukan agar kita tidak perlu memikirkan hal kekekalan yang penting dan mendesak. Orang yang sengaja dan beralasan seperti ini pasti akan mengalami kematian yang tidak bermartabat.

Kita tidak menemukan sesuatu yang berharga dalam hidup ini, kecuali kita berani mengambil risiko memercayai kehidupan yang akan datang di langit baru bumi baru, dan mengarahkan diri sepenuhnya kepada kehidupan yang akan datang itu.