Allah semesta alam itu lebih dari segala nilai. Menemukan Allah itu lebih dari segala prestasi. Tidak ada cara mudah untuk mengalami Tuhan. Sering kali kita tertipu dengan kata “anugerah,” tertipu dengan kata “kasih karunia.” Kata “anugerah, kasih karunia” sering dikesankan bahkan dijelaskan sebagai sesuatu yang membuat seseorang mudah mencapai hal yang bernilai, dalam hal ini keselamatan; dikembalikannya manusia ke rancangan Allah semula; atau Allah sendiri. Seakan-akan keselamatan itu mudah dicapai, karena anugerah atau kasih karunia. Anugerah tidak membuat kita otomatis mencapai maksud keselamatan diberikan. Anugerah tidak mengubah kita. Yang diubah adalah hubungan kita dengan Allah. Keadaan kita belum berubah, masih mengenakan manusia lama, masih berkodrat dosa, tetapi diterima oleh Allah.
Tentu saja dengan keadaan kita yang masih berkodrat dosa, belum dewasa, hubungan kita dengan Allah belum hubungan yang dewasa atau ideal, tetapi walaupun demikian, Allah menerima kita. Sama seperti anak usia 5 bulan, 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, sempurna sebagai anak, bagi orang tua. Umur 5-6 tahun, orang tua memiliki relasi dengan anak, kesayangan. Namun, belum relasi yang matang atau dewasa. Anugerah, mengubah relasi kita dengan Allah, kita diterima Allah; kita dibenarkan atau dianggap benar, walau keadaan kita belum benar-benar benar.
Sejak itu, justru kita masuk proses untuk menjadi anak-anak Allah. Menjadi anak-anak Allah bukan hanya secara status; bukan saja secara de jure, tetapi juga secara de facto. Justru perjalanan hidup kita menjadi sulit, menjadi berat, sebab bagi kita, target yang harus kita capai itu dikembalikannya kita ke rancangan Allah semula, sempurna seperti Bapa, serupa dengan Yesus, mengenakan kodrat ilahi. Tentu seiring dengan pertumbuhan kedewasaan kita, kita memiliki hubungan dengan Allah makin ideal, makin matang, makin harmoni. Ini perjalanan hidup yang berat, sebab kalau kita menjadi umat pilihan, kita dipilih.
Bukan dipilih untuk pasti bisa masuk surga; dipilih untuk menjadi anak-anak Allah dan ditetapkan. Yang ditetapkan itu standarnya: kudus, tak bercela (Ef. 1:4-5). Justru perjalanan kita menjadi lebih berat dari orang yang bukan umat pilihan. Kalau bukan umat pilihan, cukup menjadi baik dan mereka bisa saja masuk dunia yang akan datang sebagai anggota masyarakat Kerajaan Surga. Namun, kita harus sempurna dan kita diproyeksikan untuk menjadi anggota keluarga Kerajaan Surga. Jadi, kita tidak bisa lagi hidup wajar seperti manusia lain. Banyak orang Kristen atau sebagian besar orang Kristen, tidak mengerti hal ini.
Maka, bukan tanpa alasan kalau Tuhan Yesus Kristus, berkata: Jjalan yang kalian tempuh itu jalan sempit.” Ketika orang bertanya dalam konteks keselamatan dalam Yesus Kristus, “Tuhan, sedikit sajakah orang yang diselamatkan?” Keselamatan bukan hanya menjadi anggota masyarakat, tetapi menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah. “Berjuanglah untuk masuk jalan atau pintu yang sesak itu,” Lukas 13:24. “Banyak orang berusaha untuk masuk, tetapi tidak akan dapat. Banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih.” Untuk mencapai sebuah prestasi tinggi, kita harus kerja keras. Keahlian, harus diusahakan dengan sangat-sangat serius. Berapa banyak investasi yang kita berikan untuk menemukan Allah? Setan membuat kita tumpul dengan memenuhi banyak kesibukan yang tidak mengarah kepada Kerajaan Surga, kekekalan, dan Tuhan Yesus.
Hidup kita harus menjadi pekerjaan Allah. Banyak orang Kristen yang sebenarnya masih memperlakukan Tuhan seperti barang murah. Jam-jam hidup kita isi untuk hal yang membuat kita tidak bertumbuh dalam pengenalan akan Allah, tidak makin dekat. Hobi-hobi, banyak menonton yang tidak perlu, mengopi dan kumpul dengan orang yang tidak membuat kita bertumbuh dalam iman, jangan lakukan. Kecuali bertemu orang-orang yang memang bisa bicara tentang firman. Atau karena harus mengunjungi keluarga, mengunjungi orang tua, menguatkan saudara yang lemah, itu bagian dari pelayanan, tentunya. Jadi, kita tidak bisa lagi hidup wajar. Hidup kita harus dipetakan. Kelihatannya itu perkara kecil, tetapi jangan main-main. Di situlah kita membuktikan keseriusan kita dengan Tuhan. Kita tidak bisa hidup wajar lagi.
Maka kalau Tuhan berkata, “Kalau kamu tidak melepaskan dirimu dari segala milikmu, kamu tak dapat jadi murid-Ku.” Berarti kita harus meninggalkan semuanya. Di tengah-tengah dunia kita yang fasik, egois, dengan banyak hiburan dunia dan kesenangannya, kita memilih untuk fokus kepada Tuhan. Kita investasikan waktu, pikiran, tenaga kita untuk Dia; Tuhan menjadi dunia kita satu-satunya, seekstrem-ekstremnya, sefanatik-fanatiknya. Sejujurnya, berapa banyak di antara kita yang mengalami Tuhan? Tidak banyak. Kita mengenal Allah hanya dari khotbah, buku, atau kesaksian. Kita sendiri tidak mengalami Tuhan. Kita pandang itu terlalu sulit, tetapi kalau kita menganggap hal mengalami Tuhan itu sangat bernilai, maka kita pasti berani mempertaruhkan seluruh hidup kita.
Kalau kita menganggap hal mengalami Tuhan itu sangat bernilai, maka kita pasti berani mempertaruhkan seluruh hidup kita.