Skip to content

Beragama VS Ber-Tuhan

D Indonesia, kita masih melihat kegiatan orang ber-Tuhan atau beragama. Tentu saja ber-Tuhan dan beragama itu tidak sama persis. Orang ber-Tuhan pasti beragama, tetapi orang beragama belum tentu ber-Tuhan. Kita masih melihat aktivitas orang yang ber-Tuhan atau beragama di sini. Tetapi kalau di negara-negara tertentu seperti Eropa, suasana orang beragama atau ber-Tuhan sangat tipis, bahkan nyaris tidak ada. Itulah sebabnya gereja-gereja sepi pengunjung. Kalaupun ada pengunjung, mereka datang untuk berwisata, melihat artistik gedung gereja dan sejarah masa lalu kekristenan. 

Sementara di negara-negara non-Kristen, tampak sekali geliat dan aktivitas orang beragama. Seperti di suatu kota atau suatu negara, pagi-pagi sebelum orang-orang pergi bekerja, mereka ke kuil. Mereka memberikan penyembahan kepada dewa atau allah yang mereka sembah, setelah itu baru pergi bekerja. Negara yang tidak bernuansa Kristen, seperti itu pola hidupnya. Tetapi negara yang bernuansa Kristen seperti beberapa negara Barat, suasana keberagamaannya begitu tipis, bahkan nyaris tidak ada. 

Kalau di Indonesia, kita masih melihat geliat orang yang beragama yang melakukan kegiatan agamanya. Dalam konteks Kristen, pergi ke gereja, memakai kalung salib, sebelum makan berdoa, hari raya seperti Paskah dan Natal pasti ke gereja. Tetapi, belum tentu mereka benar-benar ber-Tuhan. Ber-Tuhan artinya berinteraksi dengan Tuhan, bergaul dengan Tuhan, kehidupan yang berjalan dengan Tuhan. Ini kehidupan yang sebenarnya luar biasa. Dikatakan “sebenarnya” karena banyak orang tidak memercayai. Mereka memberikan porsi yang sangat terbatas untuk Tuhan, sehingga Tuhan hanya menjadi objek keberagamaan dalam bentuk seremonial atau liturgi. 

Orang yang ber-Tuhan, harus menjadikan Tuhan itu segalanya dalam hidup. Jadi kalau orang tidak menjadikan Tuhan segalanya dalam hidup, dia belum ber-Tuhan (ini dalam konteks Kristen). Standar ber-Tuhan dalam kekristenan, seperti tertulis di Matius 22:37-40, yaitu mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan. “Segenap” ini dibahasakan Paulus di Filipi 1:21, “Bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan.” Ini standar ber-Tuhan. Tetapi kalau orang tidak percaya Tuhan, maka dia tidak berani mempertaruhkan, menginvestasikan hidupnya untuk Tuhan tanpa batas.

Maka, tidak banyak orang yang ber-Tuhan. Karena dia tidak yakin dengan menginvestasikan perhatian, waktu, tenaga, pikiran untuk berinteraksi dengan Allah atau menjadikan Tuhan segalanya sebagai sesuatu yang menguntungkan atau berharga. Jadi, potret hidup manusia di sekitarnya itu menjadi standar. Kalimat mereka kira-kira seperti ini: “Beragama ya, beragama. Ber-Tuhan, ya bolehlah percaya Tuhan. Tetapi jangan ekstrem, jangan fanatik. Jangan berlebihan.” 

Hal ini mesti kita pahami. Perilaku orang di sekitar kita memang memberikan porsi yang sangat terbatas untuk Tuhan. Karena tidak berlebihan, maka mereka menjadikan Tuhan itu sekadar tambahan. Kalau ada orang yang menjadikan Tuhan segalanya, maka dianggap sudah melampaui batas, ekstrem, berlebihan, fanatik. Ini penyesatan yang terjadi dalam kehidupan banyak orang Kristen, sehingga banyak orang Kristen pada dasarnya tidak ber-Tuhan. Mereka hanya beragama, memenuhi apa yang dipandang sebagai tugas umat kepada Tuhannya dengan ke gereja pada hari Minggu, berdoa sebelum makan, atau berdoa sebelum tidur. Orang-orang seperti ini sebenarnya tidak dikenal oleh Tuhan; tidak diperhitungkan. 

Orang-orang seperti ini keadaannya tidak lebih dari orang-orang yang tidak beragama. Banyak orang tidak beragama, perilakunya juga baik. Tidak heran ada orang-orang non-Kristen atau orang Kristen yang tidak lagi mencari Tuhan berkata, “Saya tidak ke gereja, lebih baik dari orang yang ke gereja. Untuk apa ke gereja? Yang ke gereja saja begitu modelnya.” Bahkan, nanti orang di luar Kristen, tidak akan pernah menjadi Kristen karena melihat orang-orang Kristen yang standarnya masih beragama Kristen, belum ber-Tuhankan Yesus, ber-Tuhankan Elohim Yahweh, “Ya, Kristen cuma begitu saja. Agama saya lebih baik.” Standar umumnya saja kalah. Belum lagi dari kacamata umum, “Orang Kristen kelakuannya mengapa begitu? Pakaiannya mengapa begitu? Kami saja tidak begitu, kami lebih santun.” 

Ada saja perbandingan-perbandingan seperti itu. Belum lagi misalnya ada majikan, pimpinan atau kepala suatu perusahaan menindas bawahannya dengan semena-mena. Dia Kristen, tetapi semena-mena terhadap orang lain. Orang yang ditindas, beragama lain, maka dendamnya terhadap Yesus, bisa muncul. Hal ini bisa kita temukan dalam kehidupan di masyarakat. Ini merusak pekerjaan Tuhan, merusak penginjilan, menghambat keselamatan banyak orang. Tetapi kalau orang ber-Tuhan, itu beda. Orang yang ber-Tuhan bukan hanya berdoa pada waktu mau makan, tetapi pasti ada waktu setiap hari minimal 1 jam. Dunia itu gelap sekali pengaruhnya, sangat jahat dan kuat. Orang ber-Tuhan, pasti ada waktu khusus untuk menghadap Bapa, melapor, datang ke markas besar (Mabes); yaitu Kerajaan Surga. 

Orang ber-Tuhan seharusnya menjadikan Tuhan itu segalanya dalam hidup.