Ada saat di mana kita merasa bahwa kita seperti berada dalam situasi stagnan, tidak bergerak, tidak bertumbuh dan berubah secara benar dan merasa kurang menyenangkan hati Tuhan, padahal kita rindu menyenangkan hati Tuhan. Kita merasa belum hidup di dalam kekudusan, padahal kita sudah berusaha. Kita merasa belum berkenan padahal kita juga sudah berusaha. Apa yang terjadi di saat seperti itu? Tuhan tahu bahwa kita belum maksimal dalam tekad dan niat. Kita mau hidup suci, benar. Kita mau hidup berkenan di hadapan Tuhan, benar. Kita mau bertumbuh lebih dewasa, benar. Tetapi kemauan kita belum maksimal, belum puncak, belum klimaks.
Biasanya masih ada hal-hal di dalam hidup ini yang kita harapkan dapat menyenangkan dan memuaskan hati kita. Sehingga tekad, niat kita itu tidak utuh, tidak bulat, tidak maksimal, tidak penuh. Lalu, ketika kita dalam keadaan stagnan itu, apa yang harus kita lakukan? Yang harus kita lakukan adalah mengobarkan kerinduan, menyalakan lebih besar keinginan dan kemauan untuk hidup suci, hidup berkenan di hadapan Tuhan, untuk bertumbuh makin dewasa dan sempurna. Kuncinya ada di niat, di tekad, di kemauan kita.
Ketika kita berkata, “Tuhan, aku tidak lagi meminta apa pun,” sebenarnya kita terjebak oleh kalimat itu. Tuhan akan bertanya kepada kita, “Apakah kamu serius mengucapkannya?” Pertanyaan itu sebenarnya mengingatkan, menasihatkan kita untuk melihat diri kita seberapa besar kita punya niat, kemauan, tekad dalam berurusan atau berperkara dengan Tuhan. Bersyukur kita menyadari hal ini, sehingga kita mengobarkan, membuat membara keinginan kita untuk hidup suci, hidup tak bercacat cela, hidup berkenan di hadapan Tuhan dan bertumbuh makin dewasa. Ini hal yang memang benar-benar sulit; tepatnya, mustahil. Tetapi bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Kita bergantung, kita minta tolong kepada Tuhan. Hanya Tuhan yang bisa menolong kita untuk bisa hidup tidak bercacat tidak bercela.
Kalau kita berteriak, dan menangis, berseru dengan tulus, “Tuhan, tolong aku untuk hidup berkenan di hadapan-Mu. Satu yang ‘ku perlu, berkenan di hadapan-Mu,” sejatinya kita seperti merobek langit, mengoyak langit. Dan seruan kita akan sampai ke hadapan Bapa dan Bapa berkata, “Anak-Ku ini, serius.” Indah kalau sampai Bapa melihat bahwa kita serius, sungguh-sungguh mau berkenan. Dan Bapa membuat keadaan kita yang tadinya stagnan, berhenti, mulai bergerak. Tuhan kadang atau bahkan sering, mulai mengguncang keadaan kita. Tuhan mengizinkan peristiwa-peristiwa dalam hidup kita untuk menggerakkan roda kehidupan rohani kita, roda kesempurnaan kita untuk bertambah.
Inilah yang dimaksud di dalam Roma 8:28-29, “Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan, bagi orang yang mengasihi Dia.” Kalau kita mengasihi Tuhan, kita akan berseru dengan sungguh-sungguh, “Buat aku menyenangkan Engkau, ya Allah, ya Bapa. Jangan sampai aku mendukakan hati-Mu, ya Bapa. Aku mau menjadi anak kesukaan-Mu, ya Bapa.” Dengan sungguh-sungguh kita buat membara hati kita. Berkobar-kobar dalam ketulusan. Menyerukan kerinduan ini di hadapan Bapa dan merobek langit di atas kita. Dan ini yang Bapa berkenan, karena kita mengasihi Dia. Mengoyak langit dengan jeritan, dengan seruan, “Bapa, aku rindu menyenangkan Engkau. Bapa, bawa aku terbang tinggi.” Aduh, luar biasa!
Coba kita bayangkan kalau suatu hari nanti kita meninggal dunia, kita ada di hadapan Allah, apa yang kita perlu waktu itu? Hanya satu, berkenan di hadapan Allah. Kalau kita berkenan di hadapan Allah Bapa, maka kita tahan berdiri di hadapan Allah Bapa, kita masuk dalam kemuliaan bersama Tuhan kita Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita yang dimuliakan Bapa, yang memiliki nama di atas segala nama, yang setiap lutut bertelut, dan setiap lidah mengaku, Yesus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa.
Jangan kebenaran ini berlalu. Kita camkan sungguh-sungguh, kita hargai, lalu kita amalkan, kita tunaikan, kita lakukan di dalam hidup ini. Kita hanya punya satu kali kesempatan hidup, dan itu sangat singkat. Dan kita tidak tahu kapan berakhir. Kalau kita tidak membuat membara kerinduan kita untuk menyenangkan Allah, hidup kita akan stagnan, tidak bertumbuh. Tuhan pasti melihat reaksi, aksi, respons kita terhadap anugerah-Nya.
Ada saat di mana kita merasa bahwa kita berada dalam situasi stagnan,
merasa belum hidup berkenan padahal kita juga sudah berusaha,
hal itu terjadi karena kemauan kita belum maksimal.