Skip to content

Belum Dapat Dimengerti

Saudaraku,

Dalam psikologi terdapat penyakit yang disebut ‘delusi.’ Ini adalah semacam gangguan jiwa mengenai keadaan pikiran atau pandangan yang tidak berdasar (tidak rasional), pendapat yg tidak berdasarkan kenyataan; khayal. Hal ini biasanya berwujud dalam sifat kemegahan diri atau perasaan dikejar-kejar. Abraham pada zamannya bisa dipandang seperti ini. Ia mencari negeri yang lebih maju dan modern di banding Ur Kasdim. Negeri itu dibangun oleh “Allah” yang disebut Yahweh. Negeri yang dipandang lebih megah dari segala negeri yang pernah ada pada waktu itu. Kejiwaan Abraham tidak akan dapat dimengerti oleh semua orang pada zamannya. Ia seperti mengidap penyakit jiwa “skizofrenia,” yaitu ganguan berpikir yang membuat seseorang bertindak di luar kewajaran.

Orang percaya pun dalam taraf tertentu juga bisa dipandang demikian (1Ptr. 4:1-4). Seperti misalnya Paulus, ia dipandang gila oleh penguasa yang bernama Perkius Festus, seorang prokurator Kekaisaran Romawi tahun 59-62. Prokurator adalah administrator yang bertindak atas nama Kaisar dan dipekerjakan pada kedutaan, juga dapat diartikan sebagai gubernur yang bekerja di wilayah Kerajaan Roma. Festus memimpin wilayah Yudea yang mengadili Paulus bersama dengan Raja Agripa (Kis. 26:25-26). Orang-orang pada zamannya tidak mengerti apa yang diperjuangkan Paulus. Ia meninggalkan kemegahannya sebagai pemimpin agama Yahudi dan sebagai seorang terpelajar yang terhormat. Inilah contoh dari keadaan orang-orang yang mengenal kebenaran yang hidupnya diubah Tuhan. Mereka memiliki orientasi berpikir dan cara hidup yang sangat berbeda dengan lingkungannya. Itulah sebabnya orang percaya yang benar dipandang aneh.

Tidak bisa tidak, inilah akhirnya tujuan hidup orang percaya, bahwa orang percaya tidak sama atau tidak serupa dengan dunia ini. Tidak menjadi serupa dengan dunia berarti menjadi serupa dengan yang lain. Keserupaan dengan yang lain itu adalah keserupaan dengan pribadi dan kehidupan Tuhan Yesus Kristus. Inilah hal tersulit dalam kehidupan orang percaya hari ini, bagaimana menemukan “spirit hidup Tuhan Yesus” di tengah-tengah dunia yang semakin fasik. Bila kita belum menemukan dan melakukan, berarti kita belum menemukan jalan hidup atau belum menemukan kekristenan yang sejati. Perjalanan hidup kekristenan kita harus terobsesi dengan hal ini terus menerus, yaitu mengenal jalan hidup Tuhan Yesus dan mengikuti-Nya. Inilah yang disebut haus dan lapar akan kebenaran.

Saudaraku,

Memahami pengertian “percaya yang benar” perlu kita memperhatikan kehidupan Abraham, yaitu bagaimana ia memercayai Allah. Abraham percaya kepada Allah bukan hanya percaya bahwa Allah itu ada, tetapi ia melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah; yang dalam hal ini meninggalkan Ur-Kasdim untuk menemukan negeri yang memilki dasar yang direncakan dan dibangun oleh Allah sendiri (Ibr. 11:8-10). Walaupun sampai mati ia tidak melihat secara kasat mata negeri tersebut, tetapi ia tetap pada pendiriannya menemukan negeri tersebut (Ibr. 11:13-16). Abraham tidak pernah menoleh ke belakang walaupun memiliki kesempatan untuk kembali ke negeri yang telah ditinggalkannya. Perintah Tuhan untuk menemukan negeri tersebut seakan omong kosong. Dan nyatanya, sampai ia menutup mata, ia tidak melihat negeri tersebut dengan mata jasmaninya.

Alkitab mencatat bahwa dalam iman, mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini (Ibr. 11:13). Kata melambai-lambai adalah aspazomai (ἀσπάζομαι), artinya to greet, welcome, pay one’s respects to (menyapa,menyambut, memberi penghargaan kepada sesuatu). Tentu dalam perjalanan tersebut, bisa terjadi Abraham mengalami suatu keraguan terhadap janji Tuhan tersebut, sebagaimana Abraham juga pernah meragukan bahwa keturunannya akan seperti bintang di langit. Oleh karena tidak kunjung memiliki anak, maka Abraham menerima bujukan istrinya mengambil salah seorang budak untuk melahirkan keturunan bagi keluarganya.

Namun demikian, akhirnya Abraham tetap percaya bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa dan menemukan negeri yang dijanjikan itu. Keyakinannya membuat ia dapat melihat negeri yang dijanjikan oleh Allah kepada Abraham, yaitu negeri surgawi. Seperti ketika Abraham diperintahkan untuk mempersembahkan Ishak anak tunggalnya, tanpa ragu-ragu ia melakukannya, demikian pula sampai mati ia tetap memercayai bahwa Allah yang menjanjikan negeri itu adalah Allah yang setia yang akan memenuhinya. Dalam hal ini percaya adalah menuruti apa yang diperintahkan Tuhan, walau hari ini perintah itu belum dapat dimengerti. Bahkan sering perintah itu seakan-akan tidak menghasilkan sesuatu yang baik atau menyengsarakan. Percaya berarti menerima apa pun resiko yang harus dipikul akibat percayanya.

 

 

Teriring salam dan doa,

Dr. Erastus Sabdono