Setelah sekitar 80 tahun, dunia ini tidak mengalami guncangan perang seperti perang dunia. Akibatnya, manusia sudah merasa nyaman dengan pola kehidupan yang berjalan dengan stabil. Padahal, dunia pasti berakhir. Entah karena perang, ada asteroid yang jatuh dari langit, bencana ekosistem bumi yang rusak ini, krisis ekonomi, atau pandemi seperti virus COVID-19, dan sejenisnya. Karena, Alkitab jelas menyatakan bahwa dunia akan mengalami penderitaan seperti perempuan bersalin (Mat. 24:8-13). Jadi, kita harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terburuk. Riak gelombang yang terjadi di negara-negara Timur Tengah juga merupakan peringatan bagi kita. Krisis antara bangsa Palestina dan bangsa Israel atau orang Yahudi mengingatkan kita bahwa betapa rentannya dunia ini. Belum lagi ketegangan-ketegangan yang terjadi antarnegara adikuasa. Dunia tidak bertambah nyaman. Belum dari pihak terorisme, radikalisme yang mencoba untuk bisa memaksakan kehendaknya. Dunia kita tidak bertambah baik. Kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan yang terburuk.
Keadaan nyaman sekitar 80 tahun ini tidak ada perang besar, membuat manusia lupa diri. Seperti di negara Barat, banyak orang sudah tidak lagi memedulikan Allah. Di dalam Matius 24:8, firman Tuhan mengatakan, “Akan tetapi semuanya itu barulah permulaan penderitaan menjelang zaman baru.” Dan tanda-tanda zaman sudah jelas. Oleh sebab itu, kita harus menjadikan Tuhan tempat perlindungan. Karenanya, kita harus menyerahkan segenap hidup kita ke dalam tangan-Nya. Kita membawa diri kita kepada Tuhan. Keluarga kita dan orang-orang yang kita kasihi, kita taruh di dalam tangan perlindungan Tuhan. Dan untuk itu, mau tidak mau, kita harus hidup tidak bercacat, tidak bercela. Jangan lagi terikat dengan dunia. Bisa saja terjadi bencana atau perang. Dalam sekejap, harta kita lenyap. Dalam sekejap, kita dapat lagi memiliki apa pun. Kita tentu tidak mengharapkan atau mendoakan hal-hal tersebut, namun tidak dapat disangkal, semua itu dapat terjadi dalam sekejap layaknya yang telah kita lihat selama ini.
Untuk itu, mari kita berkemas-kemas pulang ke surga. Senada dengan ini, Paulus mengingatkan kita dalam 1 Korintus 7:29-31, “Saudara-saudara, inilah yang kumaksudkan, yaitu: waktu telah singkat! Karena itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristeri; dan orang-orang yang menangis seolah-olah tidak menangis;… Pendeknya orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu.” Seruan Paulus ini menegaskan kefanaan seluruh hal yang kita miliki, dan semuanya akan kita tinggalkan. Untuk itu, kita harus berusaha hidup suci, meninggalkan percintaan dunia, melepaskan segala ikatan dengan barang-barang dunia yang kita harapkan bisa membahagiakan. Kita bisa memiliki banyak barang, banyak uang, tetapi kita tidak terikat dengan semua itu, dan kita rela kalau setiap saat itu digunakan untuk kepentingan pekerjaan Tuhan. Memang hal ini mustahil bagi kita. Mustahil bisa hidup suci, mustahil bisa terlepas dari percintaan dunia. Tetapi, Tuhan akan menolong kita, kalau kita punya komitmen bulat, punya tekad bulat. Percayalah, Tuhan akan menolong kita. Kita memang belum sempurna, tetapi kita bisa belajar untuk berubah. Bersyukur kepada Tuhan yang tiada henti-hentinya mendidik kita dan mengubah kita. Kita bukan orang baik. Kita adalah orang-orang tidak pantas menerima kebaikan Tuhan. Akan tetapi, ketika kita mau berubah, Tuhan akan menolong kita, sampai akhirnya kita sampai ke langit baru bumi baru.
Tentu setiap kita akan menghadapi tantangan beragam ketika hendak belajar berubah. Setiap kita punya kecenderungan-kecenderungan salah atau menoleh ke belakang. Namun kabar baiknya, kita dapat menaklukkan kecenderungan tersebut. Kita memiliki kemampuan untuk memilih apa yang benar dan apa yang salah. Ketika kita memilih tidak berbuat salah, kita memilih untuk tidak menoleh ke belakang. Pilihan ini perlu dibiasakan setiap hari, ketika kita menghadapi persimpangan kehidupan antara memilih yang benar dan salah. Jika kita telah terbiasa untuk memilih tidak menoleh ke belakang, hal tersebut akan menjadi kebiasaan permanen dalam diri kita. Kita rindu, suatu hari di hadapan takhta Kristus, Dia mengakui bahwa kita mengikut Dia dengan sungguh-sungguh. Suatu hari, kita akan bersama-sama dengan saudara-saudara seiman di hadapan Tuhan Yesus.
Kita memang belum sempurna, tetapi kita bisa belajar untuk berubah.