Skip to content

Beban Keselamatan Sesama

Ada tawaran yang Tuhan ajukan kepada setiap kita untuk memiliki kehidupan yang luar biasa, kehidupan yang indah, yang mulia, dan yang agung, yang tiada tara yaitu kehidupan yang memikirkan apa yang Allah pikirkan. Memikul beban keprihatinan yang juga menjadi beban dan keprihatinan Tuhan. Merasakan apa yang Tuhan rasakan, yaitu mengenai keselamatan jiwa banyak manusia. Firman Tuhan dalam 2 Petrus 3:9-13 mengatakan, “Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat. Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap. Jadi, jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu harus hidup, yaitu kamu yang menantikan dan mempercepat kedatangan hari Allah. Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya. Tetapi sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran.”

Ayat-ayat tersebut menggambarkan bagaimana bumi ini akan dihancurkan oleh Tuhan dalam kengerian yang dahsyat. Tak terbayangkan betapa dahsyatnya keadaan itu; ketika langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api. Dan Tuhan mengatakan bahwa Ia tidak menginginkan seorang pun binasa. Ini yang Tuhan Allah inginkan. Allah tidak menghendaki seorang pun binasa dengan cara demikian. Allah terbeban, prihatin, berduka terhadap realitas banyaknya manusia yang akan menuju kegelapan abadi. Masalahnya sekarang adalah apakah kita juga memiliki beban yang sama? Kita bisa memiliki kegiatan dalam pelayanan dan beban, tetapi bebannya adalah beban untuk gereja yang sedikit diisi orang. Kita ingin orang berbondong-bondong datang ke gereja, tetapi bukan demi keselamatan jiwa orang-orang itu, melainkan demi prestise (harga diri); nilai diri, kebanggaan, dan banyak motivasi lain.

Kalau kita sungguh-sungguh memiliki beban terhadap keselamatan jiwa orang lain, kita harus lebih dulu memiliki beban terhadap keselamatan jiwa kita, yaitu bagaimana kita benar-benar menjadi orang yang berkenan di hadapan Allah. Itu dulu. Bagaimana kita membuang semua keinginan yang tidak dinikmati oleh Tuhan? Tidak salah punya keinginan, tetapi harus keinginan yang Tuhan pun ikut menikmatinya. Kalau orang di luar Kristus—artinya yang tidak dipanggil menjadi hamba-hamba Tuhan yang diutus Tuhan Yesus—bukan masalah. Seperti kehidupan bangsa Israel dan kehidupan orang-orang di luar umat pilihan; sementara mereka hidup di dunia dengan segala kenikmatan yang bisa dinikmati dan segala kesenangannya, mereka juga masih bisa beribadah kepada Allah dalam batas tertentu. Tetapi bagi orang percaya, kita harus mempersembahkan segenap hidup tanpa batas untuk Tuhan.

Yang utama yang harus kita persembahkan adalah hati, pikiran, dan perasaan. Pikiran harus bersih, hati harus bersih, supaya beban keprihatinan terhadap jiwa-jiwa yang terhilang bisa diimpartasikan oleh Allah atau bisa ditularkan. Impartasi beban itu bisa kita rasakan seiring dengan perubahan hidup. Kita harus bertekad, bahkan berani berjanji untuk hidup kudus, tak bercacat, tak bercela; yang mana itu merupakan tujuan hidup kita. Kalau kita berani begitu, seiring dengan bertumbuhnya kesucian hidup kita, bertumbuh pula beban di hati kita untuk keselamatan jiwa sesama. Kita mengerti apa artinya pelayanan tanpa tujuan yang jelas; artinya tanpa beban seperti ini. Banyak orang “melayani”—membuat banyak orang datang, membuat segala kegiatan pelayanan, berkhotbah, dan lain sebagainya—tetapi tidak memiliki beban yang sungguh-sungguh untuk perubahan manusia, sampai pada kesempurnaan seperti Bapa dan keserupaan dengan Yesus.

Kalau kita sungguh-sungguh berjuang untuk menjadi manusia yang berkenan di hadapan Allah atau menjadi anak kesukaan Bapa, maka kita akan menjadi teladan bagi orang lain. Orang tidak bisa membantah kenyataan bahwa kita mengasihi Tuhan dengan menyerahkan seluruh hidup dan milik kita tanpa batas untuk Tuhan. Kalau kita bisa memiliki beban keprihatinan seperti yang ada di hati Tuhan—di hati Bapa di surga, di hati Tuhan Yesus—betapa mulia dan agung kehidupan kita ini. Kita benar-benar menjadi anak Allah yang menyatu dengan Bapa, sesuai dengan doa Tuhan Yesus di dalam Injil Yohanes 17, “Engkau dalam Aku, Aku dalam Engkau ya Bapa dan mereka di dalam Kita.” Persatuan ini mestinya menjadi kerinduan kita. Di sisa umur hidup kita ini, mari kita memilih jalan ini; jalan untuk hidup seiring dengan Allah Bapa. Inilah mestinya yang menjadi warna hidup orang percaya.

Orang yang percaya kepada Tuhan pasti menerima segala keadaan hidup tanpa bersungut-sungut, sebab Allah menjadikan semua kejadian dan mengizinkan kita alami itu untuk kebaikan kita. Kebaikan tersebut mendukung kesempurnaan seperti Bapa atau keserupaan dengan Tuhan Yesus. Orang yang percaya kepada Tuhan Yesus pasti rela melakukan apa pun yang Allah ingini. Bagaimana kita bisa melakukan apa yang Allah ingini kalau kita tidak memiliki perasaan, beban seperti yang ada pada-Nya, seperti yang ada pada Tuhan? Oleh karenanya, ubah bingkai berpikir kita untuk memiliki beban yang sama seperti yang ada pada Tuhan.

Kalau kita berani berkomitmen untuk hidup tidak bercacat cela, seiring dengan bertumbuhnya kesucian hidup kita, bertumbuh pula beban di hati kita untuk keselamatan jiwa sesama.