Baptisan bagi orang kafir yang mau beragama Yahudi dan mengikuti agama orang Israel dinamakan baptisan Proselit. Sejak itu, mereka tidak boleh makan makanan yang dianggap atau dipandang haram oleh Taurat, cara gaya hidupnya pun berubah total. Karena memang orang Yahudi itu ekstrem dalam keberagamaan. Sampai hari ini, ada di antara mereka yang masih ekstrem. Baptisan lain yang dikenal dalam Alkitab adalah baptisan Yohanes Pembaptis. Sebelum Yesus memberitakan Injil, Ia pun dibaptis.
Jangan hanya kelihatannya benar karena sudah dibaptis, tapi kita harus membuktikan buah-buah pertobatan. Makanya, tidak heran kalau Yohanes Pembaptis ketika bertemu dengan tokoh-tokoh agama Yahudi, ia memanggil mereka dengan sebutan: “Hai, kamu ular beludak.” Karena dia tahu, kalau baptisan cuma menjadi sebuah formalitas, percuma. Yohanes Pembaptis mau mereka melakukan hukum sesuai dengan jiwanya, nafasnya, menghasilkan buah-buah pertobatan.
Adapun baptisan dalam nama Bapa, Anak, Roh Kudus berarti hidup baru di dalam Tuhan. Yang satu ini, standarnya tinggi. Makanya di Roma 6:4 tertulis begini, “Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.”
Kita belum sempurna, namun kita tetap bisa mengasihi Tuhan. Kita harus mati, dan kita mengerti sekali bahwa baptisan itu lambang kematian; kesediaan untuk hidup baru. Jangan dibaptis kalau kita tidak berani mati bagi dunia. Sejatinya, jika baptisan sudah menjadi budaya—umur sekian harus dibaptis—atau karena mau menikah, kita melecehkan baptisan. Banyak orang tidak mengerti bahwa ‘harga’ baptisan itu sangat mahal.
Bersyukur, tahun demi tahun, lewat perjalanan hidup kita mengerti, Bapa menghajar kita melalui banyak kejadian. Yang melalui hajaran-Nya itu kita menjadi huios (anak yang sah). Maka, gereja harus menjadi sekolah Alkitab yang benar. Di Ibrani 12, kita membaca mengenai pelombaan yang diwajibkan, dan perlombaan itu adalah memiliki iman yang sempurna dan Yesuslah modelnya. Karena, kita mau dijadikan anak-anak bagi Allah.
Ayat berikutnya mengatakan, “… Ia menyesah orang yang diakui-Nya …” Jadi, sejak di bumi sudah diakui. Ada pengakuan dari Allah: “Ini anak-Ku, Kuhajar dia.” Tetapi kalau anak gampang (nothos), tidak dihajar. Karena memang yang dihajar hanya orang yang mengasihi Dia. Hajaran dan didikan-Nya membuat seseorang mengalami kelahiran baru; dilahirkan oleh Roh Kudus. Namun, kita harus memiliki komitmen individu untuk memberi diri dibentuk, maka Allah kerjakan.
Sejatinya, kita tidak punya pilihan lain dalam hidup, kecuali menjadi anak-anak Allah. Bukan sekadar status yang dirumuskan dengan kata-kata atau kalimat di atas kertas, melainkan pengalaman riil dengan Allah. Tidak mungkin Roh Kudus tidak memberitahu bagaimana keadaan kita di hadapan Allah. Ibrani 12:6, “… karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?”
Kita diproses, dan kita tahu itu. Namun kadang-kadang kita berkata, “Tuhan, aku tidak sanggup lagi.” Tapi memang perubahan kodrat tidak bisa sulapan, harus lewat masalah. Jadi, tidak heran kalau orang yang diproses Tuhan dengan sungguh-sungguh, ia merindukan pulang ke surga; “Aku capek, Tuhan, aku lelah. Tapi aku belum jadi seperti yang Kau mau. Aku masih harus berubah dengan sungguh-sungguh.” Maka kita harus tekun, tekun, dan tekun.
Kita bisa mengalami perubahan demi perubahan karena kita tekun. Siapa yang bertekun sampai akhir, diselamatkan. Bertekun sampai akhir! Itu respons kita. “Aku sudah mati, hidupku bukan aku lagi, tapi Kristus yang hidup di dalam aku.” Jangan sampai manusia lama kita masih hidup. Kemungkinan manusia lama kita timbul kalau ada masalah atau kejadian yang merangsangnya. Namun, kita sudah mengambil keputusan untuk mengubah kodrat.
Jangan sampai jatuh dalam dosa. Jangan sampai menoleh ke belakang. Jangan sampai ada kesenangan-kesenangan dunia. Bapa mendidik kita, agar kita boleh hidup; “Supaya kita boleh hidup mengambil bagian dalam kekudusan-Nya.” Jadi apakah kalau seseorang punya persoalan berarti ia pasti dihajar Bapa? Belum tentu. Karena ada banyak orang punya persoalan karena kesalahannya sendiri. Ada banyak problem yang dialami oleh seseorang bukan karena hajaran dari Allah. Namun, pengalaman hidup bisa membuat seseorang dewasa mental.
Tetapi kalau Allah membuat seorang jadi anak-Nya, Allah mesti mendesain peristiwa-peristiwa untuk menggarap orang tersebut supaya menjadi manusia sesuai dengan rancangan-Nya. Masalahnya, apakah orang itu mau? Sebab ia harus bertekun dan mengasihi Allah, serius mau berubah. Jangan anggap sepele. Tuhan menghendaki kita dilahirkan oleh Allah. Jika bapak di dunia ini mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa dipandangnya baik, Allah mendidik kita untuk kebaikan kita agar kita boleh hidup dan mengambil bagian dalam kekudusan-Nya. Kita semua masih belajar, tapi jangan berhenti belajar. Bertekun terus sampai kita dilahirkan; kodrat kita berubah. Makin hari makin diubahkan sampai kita sempurna; sempurna seperti Bapa. Hidup kita penuh harapan. Allah mau mengubah kita. Sehingga kita bisa berkata, “Hidupku bukan aku lagi tapi Kristus.”
Jangan hanya kelihatannya benar karena sudah dibaptis. Tapi kita harus membuktikan buah-buah pertobatan.