Betapa berharganya diri kita ini, yang oleh karenanya Allah menciptakan langit dan bumi bagi Adam dan bagi seluruh keturunannya. Seandainya Adam tidak jatuh dalam dosa, maka bumi ini menjadi surga menjadi Firdaus. Allah di dalam tatanan-Nya tidak bisa bersekutu dengan manusia yang tidak bermoral seperti diri-Nya. Maka mereka diusir dari keindahan yang Allah ciptakan. Kalau Adam dan Hawa tidak bisa lagi menikmati Firdaus, itu bukan hanya berarti mereka tidak bisa menikmati keindahan, kenikmatan satu lokasi, melainkan bumi menjadi tanah yang terkutuk, tanah yang terhukum. Bumi yang terkutuk akan menumbuhkan onak dan duri, artinya menumbuhkan kesulitan.
Yang kedua, karakter manusia yang rusak. Hal ini membuat manusia tidak bisa menikmati keindahan. Manusia tidak mungkin bisa menikmati ciptaan Allah secara proporsional. Tetapi Allah yang baik, mengasihi manusia yang berharga di mata Allah. Allah yang agung dan mulia, tidak mungkin mengasihi sesuatu yang tidak mulia. Manusia itu bernilai dan Allah mencintai. Tetapi manusia rusak, sebenarnya tidak layak, tidak pantas dicintai. Itulah sebabnya dalam Yakobus 4:5 dikatakan, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Kitab Suci tanpa alasan berkata: “Roh yang ditempatkan Allah dalam diri kita, diingin-Nya dengan cemburu!” Roh kita itu milik-Nya, maka Dia menginginkannya. Allah ingin roh itu kembali kepada-Nya.
Ada yang bernilai di dalam diri kita, yaitu roh yang kekal yang dilahirkan dari Allah ketika Ia menghembuskan nafas. Tetapi sering kali manusia tidak menghargai dirinya sendiri. Yakobus 4:4 mengatakan, “Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah.” Sejujurnya, banyak di antara kita yang sebenarnya asing dengan Tuhan. Tetapi akrab dengan dunia. Itulah sebabnya banyak orang yang lebih menghargai dunia daripada Tuhan. Selera mereka terhadap Tuhan tipis, kecil, jauh dibanding dengan selera terhadap uang, harta, dan semua fasilitas.
Bukan berarti salah jika kita punya banyak uang atau fasilitas, tetapi kita harus lebih menghargai Tuhan. Hal itu bisa terbukti dari waktu yang kita sediakan untuk pertemuan dengan Tuhan. Sebagaimana Mazmur 1:2 mengatakan, “tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.” Sepertinya ayat ini terkesan berlebihan. Tetapi setelah melewati tahun-tahun panjang dan kita mengakui bahwa yang kita butuhkan itu Tuhan, maka sekarang kita mengerti bahwa merenungkan Firman itu menjadi nafas yang otomatis kita lakukan sebagaimana kita bernafas. Sekarang kita belajar berprinsip the only world I have is God, My Lord.
Banyak orang Kristen yang memandang remeh Tuhan. Apalagi kalau mereka berkedudukan tinggi, punya gelar tinggi, punya kekayaan banyak, penampilan bagus, dihormati orang, maka mereka menjadi sombong. Mereka masih asing dengan Tuhan.
Kalau suatu hari mereka bertemu Tuhan, apa yang mereka mau katakan? Coba pikiran ini, perkarakan ini. Mereka tidak punya bahan pembicaraan, karena mereka tidak punya dialog dengan Dia setiap hari. Dengan orang tua, dengan pasangan hidup saja kita berdialog. Mengapa tidak dengan Tuhan? Dia, yang maha hadir, yang menyertai kita, selalu menunggu kita berdialog dengan-Nya. Tuhan mau menyelamatkan kita, tetapi percintaan dunia membuat kita tidak mengasihi Allah (1Yoh. 2:15-17).
Jadi kalau kita lebih akrab dengan dunia, kita tidak layak mengatakan, “Aku mencintai Engkau, Tuhan.” Tidak layak, karena standar mengasihi Tuhan itu hatinya harus utuh hanya bagi Dia. Kekusutan hidup bisa membuat batin kita menjadi seperti benang kusut yang tidak bisa diurai, yang hanya bisa dibakar. Maka, semakin tua itu bejana kita harus makin kosong, dan hanya diisi Tuhan. Tuhan sayang kita, tapi sering kali kita yang tidak menyayangi diri kita sendiri. Kita tenggelam dalam berbagai kesenangan dunia dan kita anggap wajar, karena orang lain melakukannya. Kita ini istimewa yang ditarget untuk dimuliakan bersama Yesus. Makanya, harus punya kehausan dan kelaparan akan kebenaran yang sama dengan keinginan kuat untuk melakukan kehendak Allah dengan presisi dengan sempurna.
Seseorang yang tidak punya dialog dengan Dia setiap hari akan merasa asing dengan Allah.