Kalau Tuhan memperkenankan Injil menyala di Indonesia dan memancar ke seluruh penjuru tempat, hendaknya itu bisa terwujud, karena Amanat Agung Tuhan: “Jadikan semua bangsa murid-Ku.” Tetapi, apakah api yang dinyalakan oleh Allah Bapa, di dalam dan melalui karya keselamatan dalam Yesus Kristus, masih api murni yang kita kenal hari ini? Kalau di Perjanjian Lama, korban yang dipersembahkan kepada Allah harus dinyalakan oleh perbaraan atau api yang turun dari Tuhan. Tidak boleh api asing.
Perubahan zaman dan pergeserannya bukan tidak mungkin telah mengubah, menggeser api yang murni, sehingga api yang menyala hari ini sebenarnya bukan api orisinal yang dinyalakan oleh Bapa, melalui dan di dalam karya keselamatan dalam Yesus Kristus. Semangat zaman bisa mendistorsi, merusak api tersebut. Hanya orang yang benar-benar melekat dengan Tuhan, berlogika maksimal belajar kebenaran serta mengalami perjumpaan dengan Tuhan, yang bisa membedakan api asli atau palsu.
Dalam 2 Korintus 11:3, “Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya. Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima.”
Ada Injil lain, yang tentu punya api juga. Tetapi ada Injil asli, yang tentu api inilah yang mestinya harus terus dilestarikan. Hanya orang-orang yang benar-benar bergaul dengan Allah, yang memiliki kepekaan untuk membedakan roh; roh artinya spirit, gairah. Gairah apa yang mencengkeram seseorang, komunitas atau kelompok Kristen? Ada semangat zaman yang merasuk dalam jiwa kita, dan kita tidak menyadarinya. Hanya oleh belas kasihan Tuhan, lewat cara-cara ajaib yang Allah kerjakan, maka kita dibimbing Tuhan untuk kembali kepada-Nya.
Di kisah anak terhilang; ada yang terhilang di luar rumah, si Bungsu. Tetapi ada yang terhilang di dalam rumah, si Sulung, yang tidak sepikiran dan seperasaan dengan bapaknya. Jangan merasa karena ada dalam gereja, rajin, jadi aktivis, atau pendeta, maka kita tidak terhilang. Ketika kita tidak sepikiran, seperasaan dengan Allah, kita terhilang. Ada kompromi-kompromi yang kita lakukan. Kompromi ini ditandai dengan satu hal: ketika kita menikmati kesenangan yang di dalamnya Allah tidak ikut menikmatinya.
Pasti Tuhan memberitahu, karena Roh Kudus dimeteraikan dalam diri kita. Waktu kita menikmati sesuatu—berita, film, atau tontonan—dan Tuhan tidak ikut menikmatinya, berarti kita telah keluar dari hadirat-Nya. Ketika kita memiliki keinginan yang tidak didiskusikan dengan Tuhan—walaupun itu pekerjaan Tuhan—namun jika bukan yang Allah inginkan, kita menikmati dan seakan-akan Allah menikmati, padahal tidak. Biasanya di situ ada agenda pribadi, karena hati kita licik. Alkitab berkata, “Hati lebih licik dari segala sesuatu.” Kita harus bertanya: “Apakah Injil yang kita kenali, Yesus yang rasanya kita terima, percayai, Roh yang kita percaya dimeteraikan di dalam diri kita adalah Roh yang asli?”
Karenanya, mencari Tuhan harus lebih dari segala sesuatu, dijadikan segalanya sampai kita benar-benar menemukan Dia. Seseorang dikatakan telah menemukan Tuhan jika ia melakukan kehendak Bapa, mengerti yang Allah kehendaki, memahami dan memenuhi apa yang Allah rencanakan. Orang tidak bisa menemukan Tuhan tanpa mengerti rencana dan kehendak-Nya.
Tuhan akan membuka pikiran kita untuk mengerti apa yang Tuhan kehendaki, memahami apa yang Allah rencanakan, agar kita melakukan serta memenuhinya. Dalam pengalaman hidup, Tuhan sering seperti jual mahal. Yang sungguh-sungguh mencari saja tidak mudah menemukan, apalagi yang setengah-setengah. Artinya, ketika hatinya dibagi untuk menikmati sesuatu, di mana Allah tidak ikut menikmatinya; tidak bisa. Maka, hati kita harus tidak ada kesenangan, kecuali Tuhan; barulah Tuhan bisa menunjukkan kehendak dan rencana-Nya. Tetapi siapa orang yang hari ini mau melakukannya? Sebab pada umumnya orang merasa berhak memiliki dirinya sendiri.
Inilah cara hidup di hadirat Allah, yaitu dari waktu ke waktu, setiap saat. Sampai Allah bisa memercayakan kepada kita, apa yang Allah kehendaki untuk kita lakukan. Kadang-kadang, Tuhan seperti tidak memberitahu, sampai kita bertanya, “Apa yang harus kuperbuat?” Lalu jawab-Nya, “Kosongkan dahulu bejana hatimu dari semua hasrat dan keinginan. Jangan menikmati sesuatu yang Allah tidak ikut menikmatinya.” Dari kesaksian rasul Paulus dalam surat-suratnya, kita menemukan standar potret hidup seorang anak Allah. Kita mau menghidupkan kembali api itu. Paulus berkata, “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku,” Marilah kita kenakan dan nyalakan prinsip ini dalam hidup kita.
Perubahan zaman dan pergeserannya bukan tidak mungkin telah mengubah api yang murni, sehingga api yang menyala hari ini sebenarnya bukan api yang orisinal yang dinyalakan oleh Bapa, melalui dan di dalam karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus; melainkan api palsu.