Satu hal yang harus kita sadari bahwa tidak ada yang lebih bertanggung jawab dalam hidup kita lebih daripada diri kita sendiri. Setan dan Tuhan tidak dapat dituntut pertanggungan jawab atas nasib kekal seseorang, sebab baik setan maupun Tuhan tidak dapat mengendalikan kehendak bebas seseorang untuk berbuat benar ataupun salah. Tuhan telah menyerahkan kedaulatan kepada manusia untuk menentukan nasib kekalnya sendiri. Sebagai buktinya, kita dapat melihat kisah Adam dan Hawa, Kain dan Habel, bangsa Israel, dan banyak lagi di dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa manusia menentukan takdirnya sendiri. Semua itu pada dasarnya menunjukkan kepada kita fakta adanya hukum tabur tuai. Hukum tabur tuai adalah bahwa manusia menentukan nasib atau takdir serta keadaan dirinya sendiri tanpa campur tangan pihak lain. Allah memberikan kemerdekaan kepada manusia untuk bertindak dan menentukan keadaan dirinya berdasarkan hukum dan keadilan Tuhan. Jadi bagaimanapun, manusia tetap terikat dengan hukum dan keadilan Allah. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari realitas ini.
Manusia diperhadapkan kepada hukum dan keadilan Tuhan, yaitu berkat atas ketaatan, atau kutuk atas pemberontakan. Oleh sebab itu, kehidupan ini harus sungguh-sungguh dijalani dan disikapi dengan sikap hati-hati. Allah tidak pernah mengambil alih kebebasan manusia, sebab Allahlah yang menciptakan kebebasan itu dan Allah menghendaki agar manusia menggunakannya semaksimal mungkin. Manusia diperhadapkan pada pilihan-pilihan dalam jalan hidupnya, apakah ia hidup dalam ketaatan kepada Tuhan yang mendatangkan berkat, atau pemberontakan yang mendatangkan kutuk. Dalam hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa nasib manusia ada di tangan manusia itu sendiri. Kalimat bahwa “nasib manusia di tangan manusia itu sendiri,” harus dilihat dari perspektif manusia, bukan dari perspektif Allah. Allah memiliki bagian yang pasti Allah penuhi, tetapi manusia juga memiliki bagian mutlak yang harus dipenuhinya.
Menjadi kehendak Allah agar kita mengontrol kehendak diri, tubuh, jiwa, dan roh kita sendiri dengan saksama. Penguasaan diri dimana seseorang mampu mengontrol dirinya sendiri dalam ketertundukan pada kehendak Allah, membuat dirinya dapat menjadi anak Allah yang berkenan di hadapan Bapa. Hal ini bisa terjadi atau berlangsung dalam kehidupan kita, bukan karena Allah mengatur secara sepihak sehingga menghilangkan kebebasan kita. Manusia tidak pernah kehilangan kebebasan, sampai menyerahkan kebebasan itu kepada Tuhan atau musuh-Nya. Manusia tidak pernah menjadi seperti robot yang diatur oleh remote control. Hal ini merupakan ketetapan dari kedaulatan Allah. Kedaulatan Allah tidak menentukan bagaimana nasib masing-masing individu, tetapi kedaulatan Allah menetapkan bagaimana masing-masing individu menentukan nasibnya.
Manusia mengatur dirinya sendiri. Kalau ia mau mengatur dirinya sesuai dengan kehendak Allah, maka terbangunlah kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah. Jika tidak, maka tidak berlangsung demikian. Manusia yang menentukan sendiri. Kita juga dapat menentukan keadaan diri kita untuk hidup dalam perkenanan Tuhan. Tentu semua ini bisa terjadi atau berlangsung dalam pimpinan Roh Kudus. Pembiasaan diri menuruti kehendak Allah melalui penyangkalan diri terus-menerus akan membuahkan kehidupan yang semakin serupa dengan Yesus.
Iblis menghendaki agar kita menggunakan kebebasan dengan ceroboh. Sebab ketika kita menggunakan kehendak bebas dengan ceroboh, maka Iblis dapat lebih leluasa menguasai seseorang sampai pada tingkat penguasaan yang permanen. Terkait dengan hal ini, Paulus menasihati orang percaya untuk tidak memberi kesempatan kepada Iblis (Ef. 4:27). Kata “kesempatan” dalam teks aslinya adalah topon. Kata ini dapat diterjemahkan sebagai “tempat berpijak” atau “pangkalan.” Pangkalan yang disediakan seseorang bagi Iblis dalam kehidupannya akan membuat seseorang hidup dalam penguasaan Iblis sepenuhnya sampai tidak dapat melepaskan diri dari penjaranya. Jaring-jaring Iblis yang menjerat manusia ini, dimulai dari hal-hal kecil dan sangat sederhana. Bila hal tersebut dibiarkan, maka akan menjadi belenggu yang tidak dapat diputuskan. Oleh sebab itu, bagaimanapun kita harus setia dari perkara kecil dan waspada terhadap setiap hal yang dapat membelenggu pikiran dan daging kita.
Terkait dengan hal ini, kita harus memahami dengan benar apa yang dimaksud dengan menyerah kepada Allah. Menyerah kepada Allah bukan berarti menjadi pasif, tetapi sebaliknya, menjadi aktif mengenal Tuhan dan mencari kehendak-Nya untuk dilakukan. Dalam penyerahan diri tersebut, kita harus aktif mengontrol seluruh kehidupan kita. Di sini Roh Kudus akan menolong kita menghasilkan buah Roh, yaitu pengendalian diri atau self control. Dari pengendalian diri ini, seseorang tidak dapat dikuasai oleh kuasa gelap, tetapi menyerahkan kehendaknya kepada Roh Kudus untuk dipimpin agar hidup dalam kebenaran dan kesucian Tuhan.
Allah tidak pernah mengambil alih kebebasan manusia, sebab Allahlah yang menciptakan kebebasan itu dan Allah menghendaki agar manusia menggunakannya semaksimal mungkin.