Abraham adalah sosok yang dimiliki Allah, sehingga mengenai dirinya, Allah berkata: “Siapa yang memberkati kamu, Kuberkati. Siapa yang mengutuk kamu, Kukutuk.” Ini berarti perlakuan orang terhadap Abraham, sama seperti perlakuan orang terhadap Tuhan. Orang percaya juga mestinya punya keadaan seperti ini, sehingga ketika orang yang dimiliki Tuhan atau orang percaya yang dimiliki Tuhan diperlakukan sesuatu, maka perlakuan itu diperhitungkan seakan-akan untuk Tuhan. Tuhan mengatakan, “Segelas air putih, secangkir air putih yang diberikan kepadamu, tidak akan lepas upahnya. Sebab apa yang diperbuat mereka terhadap kamu, Ku perhitungkan terhadap Aku.” Jadi, tidak heran ketika Saulus menganiaya orang-orang Kristen, Tuhan datang kepadanya dan berkata, “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” Ketika ia menganiaya orang Kristen, secara tidak langsung ia menganiaya Tuhan. Jadi kalau kita dimiliki Tuhan, jangan takut, karena perlakuan orang terhadap kita dipandang sebagai perlakuan mereka terhadap Tuhan. Jangan balas dendam, jangan juga membela diri. Ini mutlak harus kita lakukan. Seseorang tidak akan dapat memiliki Allah kalau ia tidak dimiliki oleh Allah.
Seseorang bisa memiliki sesuatu atau seseorang, tanpa sesuatu atau orang lain itu memiliki dirinya. Misalnya, sebagai majikan, kita menguasai bawahan, namun ia tidak bisa menguasai kita. Tetapi tidak bisa demikian terhadap Allah. Allah bukan suatu benda, Allah juga bukan seseorang yang ada dalam kekuasaan kita. Kitalah yang harus ada dalam kekuasaan Allah. Jika kita dalam kekuasaan Allah, berarti kita baru bisa dimiliki Allah. Kalau kita bisa dimiliki Allah, baru kita bisa mengatakan “memiliki Allah.” Orang yang tidak hidup dalam kekuasaan Allah, tidak dapat dimiliki oleh Allah. Abraham bisa dimiliki oleh Allah karena Abraham hidup di dalam kekuasaan Allah. Maka Abraham bisa memiliki Allah dan mengatakan, “Engkau hartaku. Engkau lebih berharga dari anak kandungku sendiri.” Jadi, tidak heran kalau Abraham bisa menyembelih anaknya sebagai kurban bakaran.
Ketika kita memiliki dan dimiliki Allah, maka hidup kita jadi benar-benar menarik dan indah. Kesempatan yang tidak pernah terulang. Jadi, selama kita masih bisa dilayakkan melakukan kehendak Bapa agar kita dimiliki Dia, kita lakukan itu. Melakukan kehendak Allah adalah sebuah kehormatan. Jikalau kita belum menemukan proyek yang Tuhan percayakan atau tugas khusus, lakukan satu ini: berusaha dan berjuanglah sesuci-sucinya, sekudus-kudusnya. Jangan lakukan dosa sekecil apa pun atau sehalus apa pun. Dalam hal ini, firman Tuhan mengatakan, “Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.” Jadi, orang yang tidak mau hidup dalam ketertundukan, tidak mau diatur Tuhan, ia tidak bisa dimiliki Tuhan. Orang yang tidak menyalibkan dagingnya, tidak dapat dimiliki oleh Allah. Sebab, orang yang tidak menyalibkan dagingnya, akan dikuasai oleh dagingnya.
“Daging” ini maksudnya adalah keinginan di dalam jiwa; keinginan atau nafsu-nafsunya yang tidak sesuai dengan kesucian Allah atau tidak sesuai dengan kehendak Roh. Makanya kalau orang percaya tidak hidup dalam kehendak Roh, tidak mungkin ia berkenan kepada Allah. Kita berutang untuk hidup menurut Roh. Memiliki Allah bukan berarti kita dapat menguasai Allah, tetapi kita dikuasai Allah. Umat yang pantas atau layak bagi Allah adalah umat yang pantas dan layak untuk dilindungi, diberkati, dan yang suatu hari akan dibawa ke Rumah Bapa. Kalau kita dimiliki Allah karena pantas dimiliki Dia, hidup seturut kehendak Allah, maka kita tidak perlu meminta apa juga, Bapa sudah tahu apa yang kita butuhkan. Kita juga tidak perlu pusing apa perlakuan orang terhadap kita, karena perlakuan orang kepada kita diperhitungkan sebagai perlakuan terhadap Tuhan sendiri. Kita tidak berhak untuk bereaksi; menggeliat, marah, kesal, balas dendam. Lagipula, perlakuan orang terhadap kita pasti ada berkat kekalnya.
Kita dimiliki Allah atau tidak, tergantung kita sendiri, bukan tergantung Allah. Karena secara de jure, kita memang sudah jadi milik-Nya. Tetapi secara kenyataan, secara de facto, banyak orang memiliki dirinya sendiri, sehingga tidak bisa dimiliki Allah. Sekarang, bagaimana seseorang bersikap terhadap Allah, itu yang menentukan apakah dia dimiliki oleh Allah atau tidak. Atau, apakah dia memiliki Allah atau tidak. Kita harus bersikap benar untuk bisa dimiliki Allah dan memiliki Allah, terkait dengan masalah harta ini. Kita harus menjadikan Tuhan kebahagiaan kita. Kita harus merasa cukup dan lengkap atau utuh dengan Dia, merasa aman dan terjamin, walaupun Tuhan tidak kelihatan. Percaya saja, dan kita merasa terhormat karena kita berharga di mata Allah. Allah menjadi hartanya, dia juga jadi harta Tuhan.
Jadi, kalau kita menjadi sahabat Allah, maka “Ishak-Ishak” dalam hidup kita harus disembelih. “Ishak” itu bisa berupa nama baik, nama besar, kedudukan, harta, dan lainnya. Seseorang dapat menjadikan Allah sebagai kebahagiaan, kalau ia tidak memandang lagi apa pun dalam hidup di dunia ini sebagai kebahagiaan. Seseorang tidak dapat menjadikan Allah sebagai kebahagiaan, kalau masih memandang, menganggap ada sesuatu yang dapat membahagiakan dirinya. Orang ini tidak bisa menjadi sahabat Tuhan dan tidak bisa menjadi mempelai Tuhan. Karena kalau mempelai Tuhan, harus tidak punya ikatan dengan yang lainnya. Orang yang berani melepaskan kesenangan dunia, baru bisa menikmati damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal. Maka, dia merasa punya jaminan, aman, dan terhormat karena dia dikasihi Allah. Sehingga, dia bisa berkata: “Tuhan hartaku.”
Seseorang dapat menjadikan Allah sebagai harta satu-satunya, kalau ia tidak memandang lagi apa pun dalam hidup di dunia ini sebagai kebahagiaan.