Skip to content

Perangkap

Gaya hidup melakukan keinginan Allah Bapa ini harus menjadi gaya hidup yang melekat seperti sebuah perangkap atau jerat, sehingga akhirnya kita tidak bisa keluar dari keadaan itu. Hidup kita hanya mau melakukan keinginan Bapa atau kehendak Bapa. Ini menjadi belenggu, tetapi belenggu yang memerdekakan. Bagi orang yang hidup dengan gaya hidup seperti ini, kematiannya adalah kematian yang bermartabat. Sebaliknya, kalau seseorang terjerat oleh gaya hidup melakukan keinginan diri sendiri, tentu akibat, pengaruh dari lingkungan dan dunia, maka hal tersebut juga bisa menjadi perangkap atau jerat, sehingga seseorang tidak bisa keluar dari gaya hidup tersebut. Ini adalah perangkap yang membinasakan. Perlu kita ketahui bahwa ada perangkap yang memerdekakan, dan ada perangkap yang membinasakan. Sekarang kita memeriksa diri, apakah kita dibelenggu oleh kebiasaan melakukan keinginan Allah atau kebiasaan melakukan keinginan diri sendiri. Tentu yang mudah adalah melakukan keinginan diri sendiri. Sebaliknya, melakukan keinginan Allah tidak mudah. Tapi kalau kita punya tekad, punya komitmen, Roh Kudus akan pimpin. Sehingga kita bisa mengerti apa keinginan Allah, apa kehendak-Nya yang harus kita lakukan. Jadi, kalau orang terperangkap dengan gaya hidup menyenangkan diri sendiri, maka kematiannya adalah kematian yang tidak bermartabat. 

Kalau kita bisa memberi diri terperangkap dengan keinginan ini, kita akan sangat bersyukur. Kita tidak pernah menyesal, walaupun ini berat sekali. Sebab, ini adalah pilihan yang terbaik, dan sejatinya harus menjadi satu-satunya pilihan di singkatnya masa hidup kita di bumi ini. Sampai akhirnya, ini menjadi gairah hidup kita. Ketika kita berani memiliki komitmen, Tuhan pasti akan menuntun kita. Pada prinsipnya, asal kita mau dan nekat, Tuhan akan menolong kita. Apa yang menjadi kesenangan-kesenangan kita, harus rela kita tanggalkan. Itu harus dimulai dari diri sendiri. Sebagaimana seorang yang menderita penyakit tertentu, harus menghindari jenis makanan yang membahayakan kesehatan tubuhnya, sehingga ia pasti akan berani berkata “tidak” ketika ada yang menawarkan makanan tersebut. Ia punya tekad yang kuat karena ia mau sehat. Mengapa untuk kesehatan jiwa kita dan demi kekekalan, kita tidak berani berkata “tidak” kepada dosa?

Namun, tidak bisa dipungkiri, ada orang yang tidak dapat bertahan lama untuk berkata “tidak,” karena perangkap tersebut sudah demikian menjerat. Maka, ketika kita sudah melepaskan—satu demi satu, apalagi jika sudah berhasil semua—perangkap yang membinasakan tersebut, jangan sekali-kali menoleh ke belakang dan punya kesenangan-kesenangan lagi, apa pun bentuknya. Ini baru yang namanya “berkemas-kemas.” Alkitab mengingatkan kita akan istri Lot yang masih menoleh ke belakang, dimana hatinya masih terikat pada Sodom Gomora. Dalam konteks masa kini, Sodom dan Gomora dapat berbicara mengenai unsur duniawi atau kekafiran lain yang masih melekat dalam diri orang percaya. Terdapat pemikiran atau anggapan bahwa kalau seseorang berbuat kesalahan kecil, Allah akan menolerir. Ini tentu sangat menyesatkan. Iblis menaburkan pemikiran seperti ini dalam pikiran orang percaya agar kita tidak pernah benar-benar terlepas dari perangkap yang membinasakan tersebut. Pertama, merasa berhak punya keinginan. Kedua, kesalahan kecil itu tidak masalah, sehingga banyak kesalahan yang kita anggap kecil menjadi kebiasaan hidup setiap hari. Ketidaktulusan, kebohongan, membicarakan orang lain, curiga, penuh prasangka, dll. Sementara itu, merasa bahwa itu bukan sesuatu yang mendukakan hati Allah.

Dengan cara hidup seperti ini, orang tidak membangun kesucian standar Allah. Sebab, kalau orang sudah ceroboh untuk hal-hal kecil, akhirnya dia juga bisa ceroboh untuk hal-hal besar. Kalau mau suci, mari kita ekstrem suci dan jangan tidak tulus. Memang, ada saja orang yang menganggap kita tidak tulus walaupun kita sudah tulus. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk selalu setuju dengan kita atau selalu menyukai kita. Tapi yang penting, kita takut akan Allah. Kita bertanggung jawab kepada-Nya. Ada pengadilan akhir nanti. Masalahnya adalah kalau orang sudah membiasakan diri untuk hal-hal kecil tidak merasa bersalah, akhirnya menjadi kebiasaan. Itu adalah benih pemberontakan. Merasa tidak punya dosa karena tidak melakukan pelanggaran secara umum yang dapat terpidana secara hukum manusia, padahal Allah menghendaki kesucian dalam segala hal, baik itu hal kecil atau sederhana, atau hal besar. Allah menghendaki kita hidup tidak bercacat dan tidak bercela dalam segala hal. Ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Tuhan kita, Yesus Kristus di Matius 5:48, sempurna seperti Bapa. Jika tidak demikian, berarti tidak bersedia mengikut Tuhan Yesus atau ikut jejak-Nya. Kita hidup di hadapan Allah dengan mata terbuka setiap saat. Kita takut akan Allah, bukan karena mau dinilai manusia. Keadaan hidup dimana seseorang masih melakukan hal-hal yang mendukakan hati Allah, sekalipun itu kelihatannya kecil, ia tidak memiliki kesucian standar Allah. Sebab ketika Tuhan berkata, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus” di 1 Petrus 1:16, tentu saja kekudusan yang dimaksud adalah kekudusan standar Allah, bukan standar yang lain. Orang yang masih mendukakan hati Allah, kematiannya tidak bermartabat.

Bagi yang sudah terperangkap dengan gaya hidup melakukan keinginan Allah Bapa, maka kematiannya adalah kematian yang bermartabat.