Skip to content

Pengharapan Kebahagiaan

Ada tiga peristiwa besar dalam sejarah Kerajaan Allah, sejarah bumi ini, sejarah kehidupan Allah dan manusia. Yang pertama, pemberontakan Lusifer; pemberontakan kerub/kerubim yang Alkitab sebut sebagai Hilel bin Sakhar. Yang kedua, kejatuhan manusia ke dalam dosa. Yang ketiga, penderitaan kematian Yesus dan kebangkitan-Nya. Ini semua memiliki benang merah yang terhubung. Kebangkitan Yesus dari kematian memberi harapan. Jadi, membuat hidup ini berpengharapan. Dikatakan dalam 1 Petrus 1:3-4, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati.”

Jadi kita seperti dilahirkan, dari seorang yang tidak berpengharapan, lalu menjadi orang yang diberi pengharapan, “… Oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di surga bagi kamu,” (1Ptr. 1:3-4). Maka, kita harus menaruh pengharapan kebahagiaan kita di dunia yang akan datang, bukan di bumi ini. Sebab kalau kita menaruh pengharapan kebahagiaan kita di bumi, maka kita tidak mungkin bisa setia kepada Tuhan. Kita akan berkhianat kepada Tuhan. Tidak mungkin kita maksimal dan nekat untuk hidup suci. Memang untuk mengubah irama jiwa kita yang rusak ini, tidak mudah, tetapi kalau kita tidak melakukannya, berarti kita seperti istri Lot yang menoleh ke belakang.

Kalau seseorang masih menaruh pengharapan di bumi ini, berarti dia tidak mengerti kebenaran. Tidak mungkin dia menjadi Kristen yang benar. Tidak mungkin dia tidak berkhianat kepada Tuhan. Orang-orang seperti ini sejatinya belum mengenal keselamatan. Orang yang mengenal keselamatan dan memahami nilai keselamatan, tidak akan menaruh pengharapan kebahagiaannya di bumi ini, sebaliknya, dia akan menaruh pengharapannya hanya di langit baru bumi baru. Maka dalam 1 Petrus 1:13 Petrus mengingatkan kita, “Sebab itu siapkanlah akal budimu…” Pikir, renungkan, gunakan logikamu. Tentu logika rohani, bukan logika duniawi. Petrus menulis ini untuk jemaat, bukan untuk orang-orang kafir atau orang yang tidak percaya, tetapi jemaat. Yang Petrus katakan di awal suratnya sebagai “orang suci.” Selanjutnya, “… waspadalah,” artinya hati-hati karena pikiranmu bisa disesatkan dari kesetiaanmu yang sejati kepada Kristus, seperti Hawa diperdaya ular. “…dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus.” 

Tapi seiring berjalannya waktu, dan Tuhan memproses kita dengan proses-proses yang luar biasa. Ketika kita menaruh seluruh pengharapan kebahagiaan kita kepada Tuhan, tidak bisa tidak, kita mengupayakan kehidupan yang tidak bercela. Tapi kalau kita masih menaruh pengharapan kebahagiaan di dunia ini, tidak mungkin hidup kita bersih. Maka dikatakan ayat lainnya, “hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu.” Kalau seluruh pengharapan kebahagiaan kita taruh pada Tuhan dan dunia yang akan datang, maka kita bisa hidup kudus dalam seluruh hidup. Paralel. Simetris. “… sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus. Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya.” Maka, jangan mengaku sebagai anak-anak Allah secara tidak bertanggung jawab, sebab anak Allah bukan sekadar sebutan, melainkan perbuatan dan keberadaan kita.

Baiklah kita renungkan, suatu hari kita akan menghadap takhta pengadilan Tuhan. Kita berharap tidak ada saldo dosa dalam hidup kita. Tuhan akan menghabisi semua saldo dosa kita lewat peristiwa-peristiwa hidup. Seseorang yang gampang tersinggung dibentuk untuk menjadi orang yang tidak tersinggung, maka ia harus mengalami kejadian dimana ia disinggung. Waktu itulah ia berkesempatan untuk menghabiskan saldo dosa tersinggungnya. Makanya, Tuhan bekerja dalam segala hal mendatangkan kebaikan. Tiap hari kita harus periksa diri, sebab natur dosa tidak akan muncul sebelum ada impuls atau rangsang. Kalau seluruh pengharapan kita taruh pada Tuhan di langit baru bumi baru, berapa pun harganya kita bayar. Masalahnya, mengapa banyak orang yang tidak nekat? Karena mereka masih punya pengharapan kebahagiaan di bumi ini. “Kalau gajiku naik, kalau rumahku besar,” atau paling tidak “kalau aku punya rumah pribadi,” dan berbagai kesenangan. Bukan tidak boleh punya rumah, mobil, atau wisata, tapi jangan jadikan itu kebahagiaan hidup. 

Kebangkitan-Nya memberi pengharapan, bahwa kita juga akan dibangkitkan. Maka, taruh seluruh pengharapan kebahagiaan kita pada kehidupan yang akan datang, bukan pada sesuatu di bumi hari ini. Jiwa kita tidak utuh, makanya Firman itu menguduskan, menyembuhkan. Seandainya kita punya uang pun, makin banyak uang, makin tragis ketika kita harus melepaskannya. Makanya hanya satu yang tidak tragis. Apa? Memiliki pengharapan di dunia yang akan datang. “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.”  

Kita harus keluar dari cara hidup yang kita warisi dari nenek moyang. Dan sekarang, kita harus hidup dengan cara hidup anak Allah yang diteladankan oleh Yesus. Allah menciptakan langit baru bumi baru, dan me-reset kita untuk bisa menjadi orang-orang yang layak ada di dalam Kerajaan Surga tersebut.

Orang yang mengenal keselamatan dan memahami nilai keselamatan, tidak akan menaruh pengharapan kebahagiaannya di bumi ini; sebaliknya, dia akan menaruh pengharapannya hanya di langit baru bumi baru.